Lemon of 10 Days

Shenita Sora
Chapter #9

虫の知らせ (mushi no shirase) : news from insects

Juna

"Aku pamit, ya, Sya." Kuletakkan permen lemon mint dekat nisannya di hari terakhir aku di Jakarta kemarin. Permen yang sampai detik ini, seminggu sejak kembali ke Tokyo, belum kupahami dari mana asalnya.

"Lo suka makan permen sekarang?" tanyaku ke Wahyu sore harinya, setelah paginya aku kebingungan ada permen di tangan. Usai mendapat mimpi yang lumayan horor itu.

"Permen? Iya. Dalam proses berhenti ngerokok. Kenapa?" Jawaban Wahyu membuatku bernapas lega.

"Nggak. Ini kayaknya ada yang ketinggalan di kamar tamu." Kuserahkan satu bungkus permen berwarna kuning itu. Wahyu mengernyitkan dahinya. Bukan pertanda bagus.

"Gue nggak pernah masuk kamar tamu kecuali waktu lo pertama datang kemarin. Permen yang gue makan juga bukan permen jenis itu, tapi lolipop." Wahyu nyengir.

Keanehan nggak berhenti di situ. Ketika aku sudah di pesawat menuju Tokyo, permen dengan bungkus serupa dan varian rasa yang sama muncul di saku mantelku. Sebelumnya aku sempat bermimpi Lasya menangis. Membelakangiku. Nggak lebih dari lima menit, kurasa. Sebentar. Tapi, suara tangisnya membuat dadaku sakit.

Tadi malam, Lasya kembali mendatangiku di mimpi. Masih menangis. Duduk membelakangiku. Aku hanya diam, bukan karena takut, tapi badanku yang takbisa kugerakkan.

Permen aneh itu akhirnya kusimpan di dalam dompet, daripada nanti si permen kembali lagi meskipun sudah kubuang. Entahlah. Aku masih belum bisa menemukan alasan logis atas kemunculan permen ini.

"Kyou wa kekka ni deru yo ne?41 Jangan ada penundaan lagi. Bisa-bisa kredibilitas kita dipertanyakan."

"Shinpai shinaide42. Sudah tinggal unggah saja."

"Yokatta.43 "

"Juna?"

"Juna-kun?"

"Oh?" Kugilir pandanganku ke Hiroyuki dan Mirai, dua rekan kerja yang sedang menghabiskan makan siang bersamaku. Kami berada di kantin kantor, tadi sedang membahas agenda hari ini, sebelum aku kehilangan konsentrasi mendengarkan percakapan mereka.

"Doushitano?44" Mirai tampak khawatir.

Aku menggeleng sambil mencoba tertawa kecil. "Nandemo nai.45"

"Sedang memikirkan job-desc baru kah? Jangan terlalu dipikirkan, dibawa santai saja," tebak Hiroyuki.

"Iya, lumayan." Kugaruk tengkukku yang jelas nggak gatal sama sekali. Tebakan Hiroyuki nggak sepenuhnya benar, juga nggak sepenuhnya salah. Tahun ini adalah pertama kalinya aku menjadi pendamping kelompok. Excited, sudah jelas kurasakan. Namun, tak kupingkiri aku pun nervous membayangkan harus berinteraksi dengan banyak orang dalam waktu hampir seharian selama sepuluh hari nanti. Sebenarnya aku nggak sendirian, posisiku masih sebagai asisten. Kiritaki-san, seniorku, nanti yang akan jadi ketua pendamping di kelompokku.

"Anggap saja sedang liburan? Oh, atau anggap ini business trip dalam negeri. Sekalian jalan-jalan, tapi uang tetap masuk." Hiroyuki menepuk pundakku. Dia sudah pernah mengisi posisi asisten pendamping tahun sebelumnya. Tahun ini dia kembali dipercaya menempati posisi itu lagi. Nanti dia akan ditempatkan di kelompok yang akan menjelajahi Chiba. Sementara Mirai nanti akan bertugas mendampingi di Okayama. Perempuan berambut panjang itu tersenyum lebar, tapi aku bisa tahu sorot matanya masih khawatir. Lebih dari itu, aku tahu maksud sikap perempuan di hadapanku ini.

"Itu yang terpenting. Uang," jawabku berseloroh.

"Oh iya, siapa tahu nanti ada peserta yang kau kenal, Juna-kun. Mungkin teman di Jakarta dulu?" ujar Mirai mengalihkan gugup setelah kuperhatikan.

"Bisa jadi. Tapi, kuota untuk peserta S2 atau S3 cuma empat orang, kemungkinannya tipis bisa ketemu teman."

"Teman baru saja. Mahasiswi-mahasiswi manis itu," goda Hiroyuki.

"Jangan dengarkan dia. Dasar playboy!" Mirai mengibas-ngibas tangan di depan wajah Hiroyuki.

Lihat selengkapnya