Lemon of 10 Days

Shenita Sora
Chapter #10

目がない (me ga nai) : have no eyes

Sekar

"Makan dulu, yuk!"

Sekali lagi, kuusap hidungku. "Kayak begini gue, Yan?"

"Mau delivery aja?"

"Makan di luar aja deh. Stress lama-lama di kamar mulu."

Yana menepuk-nepuk lenganku. Mencoba tabah menghadapi sahabatnya ini. "Ya udah, kalau gitu cuci muka dulu, gih. Biar nggak kelihatan sembap banget begini."

Selain makin gila memikirkan bagaimana caranya dapat restu Ibu di menit-menit terakhir menjelang pengumuman, Malang akhirnya absen dari jadwal hujan derasnya, menjadikanku makin ingin keluar dari kamar. Setidaknya aku bisa merasakan udara malamnya tanpa perlu khawatir basah-kuyup. Setidaknya ada satu hal yang bisa kulakukan tanpa perlu minta izin Ibu.

Setelah setuju dengan instruksi Yana, kami akhirnya berjalan kaki ke Sumbersari, menuju Lamongan Cak Udin. Jadi tujuan utama bukan karena warung lalapan yang paling dekat, tapi ruangan di dalamnya yang lumayan luas. Aku bisa bebas dari tatapan-tatapan curiga karena datang dengan kondisi mata dan hidung memerah.

Sebenarnya berjalan kaki di wilayah Malang yang diapit tiga kampus negeri begini bukan sesuatu yang kurekomendasikan. Dijamin, ruang gerakmu bakal terbatas, kemudian lama-lama kehilangan aksesnya karena harus umpel-umpelan dengan mobil dan motor. Belum lagi space trotoar yang sempit, jumlah pejalan kaki yang didominasi mahasiswa makin menambah semarak suasana. Jangan tanya kalau sudah berurusan dengan keinginan untuk menyeberang jalan. Tapi, satu-satunya cara kalau cuma mau beli menu makan malam dekat kost, ya jalan kaki. Kalau mau repot antre di jalan saking macetnya, ya pakailah motormu. Sama-sama bukan yang bisa kurekomendasikan. Tergantung mana yang mau kamu pilih saja.

Intinya, Malang makin hari, makin penuh sesak. And you have to deal with it once you're here.

Bukan cuma jalanannya yang riuh dengan manusia, Lamongan Cak Udin juga selalu ramai. Tidak peduli sudah seberapa sering kamu menyantap menunya, dia akan tetap jadi pilihan di saat tak ada mood makan. Mungkin juga karena ada pilihan menu makanan lain selain lalapan, yaitu soto lamongan. Tidak jarang tempat ini jadi lokasi bertemunya para mahasiswa lintas kampus, UIN Malang dan UB.

Ayam goreng, nasi hangat cenderung panas, sambal tomat dan sambal hijau yang disajikan berdampingan di satu piring, lalap selada dan kemangi, serta segelas es jeruk sudah tersedia di depan mata. Sementara Yana memilih lalapan nila goreng untuk menunya malam ini.

"Makan dulu, Kar. Nanti aja cek lagi." Yana mengingatkan. Sejak setelah memesan menu, sampai semuanya siap dimakan, aku masih rajin me-refresh website JENESYS.

Meskipun pada akhirnya tetap menuruti omongan Yana, tapi mataku masih terpaku ke benda persegi panjang yang kuletakkan di meja itu. Sesekali kuketuk layarnya, lalu menggulir ke halaman website lagi.

"Tambeng, ya!" Yana mengambil ponselku cepat. "Biar gue yang cek." Mulutnya masih mengunyah-ngunyah, sedangkan makanan di piringnya sudah habis. Entah sejak kapan. Punyaku sepertinya belum tersentuh sebutir nasi pun.

"Bentar, cuci tangan dulu. Gue bawa handphone lo." Yana menatapku tajam. Kalau di rumah ada Ibu yang mengawasi sikap makanku, di luar rumah ada Yana.

Tak lama, Yana kembali sambil mengeringkan tangan dengan tisu. "Tunggu. Gue mau minum."

Selaras dengan Yana, aku juga ikut meminum es jerukku banyak-banyak.

Setelah puas menghabiskan es tehnya, Yana mulai men-scroll layar ponselku. Beberapa kali mengetikkan sesuatu, sampai akhirnya dia menatapku tanpa bersuara.

"Apa?"

"Pengumumannya udah keluar."

"Sumpah?!"

Ayam goreng dan segala pasukannya di piring sudah kehilangan martabatnya sekarang. Aku betul-betul kehilangan nafsu makan mendengar satu kalimat Yana barusan.

Sahabatku itu bangkit dari duduknya, lalu berpindah ke sebelahku. "Gue yang buka, ya. Tangan lo masih kotor."

Susah-payah kutelan nasi yang masih ada di tenggorokan. Daftar nama-nama peserta yang dinyatakan lolos disematkan berupa PDF. Kerja keras sinyal di ponselku yang berbenturan dengan rombongan sinyal provider lain di ruangan ini, sungguh terasa. Yana mengetuk-ngetuk pinggiran ponselku, tanda dia juga sudah tak sabar menunggu hasil unduhannya.

"Nah, sudah."

Oh God, please. Kali ini saja. Tolong. Setelahnya mau Kau beri aku tanggung jawab lain yang lebih berat, aku siap.

Bukannya tetap di posisi semula, aku menggeser pantat sehingga agak menjauh dari Yana. Dia masih sibuk menggulir layar ponselku.

"Sekar," panggil Yana dramatis, "lo berangkat ke Jepang!"

Mataku membelalak. Badanku membeku. Rasanya kepalaku berputar-putar.

"Sekar? Woy!" Yana menahan tawanya. "Look! This is your name, right? Kecuali lo ganti nama tanpa gue tahu, ya."

Yana menyodorkan ponselku. Dengan tangan tremor, kupegang ponselku yang sudah menampilkan daftar nama-nama peserta.

Lihat selengkapnya