Juna
"Mirai kenapa?" tanya Hiroyuki setelah ajakannya untuk makan siang bersama ditolak Mirai. Mata Hiroyuki menyipit. Curiga. "Apa dia sudah mengaku?"
"Hmm." Aku mengangguk canggung.
Laki-laki berkacamata itu mengunyah sushi-nya cepat. "Menurutmu, kalian betul-betul tidak punya masa depan?"
"Ma ... muzukashi desu."58
Hiroyuki pasang wajah mafhum yang prihatin. Kubalas tawa menghakimi.
"Mirai ni itte. Suki da yo, Mirai no koto?"59 lanjutku sebagai balasan.
"Itta yo."60
"Eh?"
Hiroyuki nyengir. "Ya, namanya juga usaha."
"Lalu?"
"Menurutmu? Kalau lancar, tidak mungkin aku di sini sekarang."
Aku manggut-manggut, sambil meneruskan acara mengunyah makanan.
Cultural shock ketika pertama kali sekolah di Jakarta adalah tentang ritme sekolahnya. Berangkat pagi, pulang sore. Membawa buku-buku lengkap sesuai jadwal. SMP naik sepeda. SMA mulai berani naik motor.
Sudah punya SIM? Tentu belum, tapi sudah bisa mengendarai motornya. Menginjak kelas dua SMA baru secara resmi mengantongi SIM, makin sering ke sana ke mari dengan teman-teman satu geng. Urusan perpacaran juga sudah biasa, bahkan mulai SMP, atu bahkan SD? Kebetulan SD-ku masih di SRIT61, situasinya agak berbeda. Masih bersama Lasya waktu itu.
Kembali ke topik romansa. Selama masa sekolah di Jakarta, aku lihat siapa saja bisa mendapat peluang punya hubungan asmara, kecuali kalau kamu benar-benar nggak tertarik. Tapi aku nggak yakin ada yang nggak tertarik. Aku sendiri pernah memiliki pacar ketika SMA. Namanya Sarah.
Senang sekali dia ketika membicarakan tentang kami di depan teman-temannya. Seperti menjadi kebanggaan bisa sedekat itu dengan "bule Jepang". Hubungan kami nggak lama, cuma sampai di awal kelas tiga. Saat itu Sarah memintaku memilih antara dia atau kembali ke Tokyo, karena keluargaku memang berencana kembali setelah aku lulus SMA. Begitulah kami mengakhiri semuanya.
Tentu, aku memilih orangtuaku. Apa yang mau diharapkan dari bocah SMA?
Setelah kembali ke Tokyo, masuk ke perkuliahan, barulah aku tahu bahwa sebagian besar temanku bercerita tidak pernah punya pacar sebelumnya. Mereka bilang cukup sulit bisa menjalin hubungan ketika di saat yang sama mereka punya beban belajar agar bisa masuk ke universitas terbaik.
Makin ke sini, aku juga akhirnya makin memahami, kenapa bahkan industri hiburan Jepang mengagungkan cerita romansa manis. Sebutlah itu shoujo manga62. Padahal kenyataannya nggak segampang itu. Jangankan level SMA, di dunia kantoran dan sudah hampir berusia tiga puluh ini pun, asmara masih jadi sesuatu yang merepotkan.
Sering dengar Jepang disebut krisis penduduk? Itulah alasannya. Dan bisa jadi, aku adalah salah satu warganya yang ikut menambah rendahnya angka pernikahan di negara ini. Setidaknya kewarganegaraanku masih 50:50, jadi dosaku nggak terlalu besar. Semoga.
"Ngomong-ngomong, sudah tahu belum kalau ada yang bertanya di website tentang keaslian program ini?" tanya Hiroyuki mengganti topik.
"Maksudnya? Ada yang curiga?"
Hiroyuki tertawa geli. "Iya. Tapi, wajar, sih. Mungkin dia takut ini penipuan. Tahu apa yang paling keren?"
Aku menaikkan kedua alis.