Sekar
"Itu betulan programnya? Bukan penipuan? Nanti kamu nggak balik ke Indonesia, gimana?"
Aku tercengang. Pertanyaan di luar perkiraan BMKG muncul dari Pak Rizal. Dosen yang memang dikenal selalu out of the box dalam mencecar mahasiswanya itu menatapku lurus-lurus.
"Jangan sampe dong, Pak. Apa jadinya saya kalau Sekar nggak balik?" Yana menyahut. Kami berada di ruang dosen, baru saja mengumpulkan mini essay. Dari sekian ucapan selamat yang memberondongku sejak pagi di fakultas, Pak Rizal justru melontarkan kemungkinan horor.
"Ya, kan, saya cuma nanya."
"Nanti saya pastikan lagi, Pak, ke website resminya."
"Good. Saya tanya begini bukan karena nggak senang, ya. I'm truly proud of you, Sekar. Makanya saya khawatir."
Sebab itulah aku sampai ubek-ubek website milik JICE langsung, dan masuk ke link pengajuan pertanyaan demi menuntaskan perasaan ngeriku.
Beruntung jawaban yang kuterima seperti apa yang kuharapkan. Malah sebelum kuajukan pertanyaan konfirmasi, di website-nya sendiri memang sudah memamerkan banner program JENESYS yang akan kujalani nanti. Selama ini website JENESYS-lah yang jadi tangan pertama segala informasi tentang program, jadi untuk mendapat jawaban valid aku langsung menuju website lembaga penyelenggaranya.
Pertanyaan bergenre thriller dari Pak Rizal itu merupakan satu dari rentetan proses yang harus kujalani sebelum akhirnya bisa duduk di sini. Dua minggu setelahnya, di lobi Artotel Thamrin. Resmi menyandang status sebagai peserta JENESYS Batch 2 Traditional Culture/Heritage/Art.
Sebelumnya, urusan paspor yang memakan waktu seminggu pengerjaan, nyaris membuatku sekali lagi kehilangan kesempatan untuk ke Jepang. Beruntung panitia bisa memaklumi dengan mengganti proses penyelesaian visa secepat kilat, sehingga semua dapat berjalan sesuai jadwal. Belum lagi soal perizinan kuliah. Ada satu dosen terbang di semesterku kali ini, yang terkenal tidak suka dengan izin apa pun di kelasnya. Padahal surat izinku langsung dari JICE, bukan hanya surat pengantar dari Fakultas. Seolah si dosen ini mau mengaplikasikan kenyataan dunia kerja yang kejam lebih awal ke mahasiswanya. Kalau kamu sakit, tapi belum mati, wajib masuk. Apalagi ini cuma kegiatan di luar kampus, harusnya aku masih bisa hadir.
Begitulah kira-kira.
Untung hanya mata kuliah pilihan, jadi aku tidak perlu pusing memikirkan efeknya. Pada praktiknya, tetap saja membuatku kurang plong.
"Kak, kita bakal ada di kelompok apa, ya?" Itu Dini, salah satu peserta yang sudah akrab denganku dari perkenalan lewat group chat JENESYS. Mahasiswi asal Jakarta yang satu tahun di bawahku itu sudah layaknya adik manja yang ke mana-mana nempel ke kakaknya, sejak pertama kali bertemu tadi. Orangtuanya yang mengantar kemari jadi ikutan mengobrol akrab dengan Ibu.
Beberapa peserta lain juga sudah kukenal, setelah banyak berinteraksi di WA. Pertemuan langsung pertama kalinya di lobi tadi, membuat seisi hotel dipenuhi suara-suara kami yang saling sapa dan berhaha-hihi ria.
"Nanti malam penentuannya, kan?"
"Kita satu kelompok, please!"
Aku hanya bisa mengamini sambil tertawa kecil. Selama program nanti akan ada empat kelompok terpisah sesuai destinasi kota kunjungan. Kelompok A dan B dibagi di area Chiba. Kelompok C akan berada di Osaka. Dan Kelompok D akan bermalam di Okayama. Kesemua peserta di kelompok ini nantinya akan disebar lagi sesuai alamat host family masing-masing. Sebelum itu, kami akan menghabiskan dua hari pertama bersama di Tokyo.
Di prefektur masing-masing nanti, semua peserta akan mengalami pengalaman berinteraksi secara langsung dengan pendudukan lokal bersama "keluarga baru" selama dua hari dua malam.
Membayangkannya saja sudah membuat adrenalinku meningkat. Wherever it'll be, I'll be extremely happy.
"Hai, Sekar!"
Sedang asyik menyapa peserta lain, tiba-tiba pundakku disentuh seseorang dari belakang.
"Hai. Ketemu lagi kita." Laki-laki di depanku itu tersenyum. Satu hal yang langsung terbayang adalah dia tidak menunjukkan senyum manisnya ini ketika terakhir kali kami bertemu. Di hari itu. Hari akhirnya aku memutuskan ikut program ini karena ingin “mengejar” Ruri.
"Hai. Kamu?"
Suara saling sapa, riuh-rendah tawa di tiap sudut lobi, menjadi backsound pertemuan kami kali ini, bukan lagi suara dentingan sendok dan mangkuk bubur ayam seperti pagi itu. Otakku masih terus berusaha mengindentifikasi kejadiaan di depan mata.