Lemon of 10 Days

Shenita Sora
Chapter #13

千里の道も一歩から(senri no michi mo ippo kara) : a journey of a thousand miles begins with a single step

Sekar

Dari Artotel Thamrin ke Kedutaan Besar Jepang ditempuh dengan berjalan kaki menghabiskan waktu sekitar 20 menit. Lima menit ke Sarinah, ini sih loncat dari kamar juga bakal sampai tujuan. Ke Istiqlal sekitar 9 menit dengan bus, kalau tidak ada acara si Komo lewat. Dan 45 menit ke Bandara Seokarno-Hatta.

Kubaca sekali lagi rundown acara hari ini. Padat merayap. Tapi karena lokasinya dekat, harusnya tidak sampai membuat mood berantakan karena sudah capek duluan. Sesungguhnya wanita adalah makhluk yang diciptakan 99,99% dari hormon. Ini analisa ngawurku, berdasarkan hasil riset sendiri yang apa-apa bisa sangat tergantung mood.

Contohnya pagi ini. Berjalan kaki ke Kedutaan Besar Jepang untuk menerima sambutan langsung dari Sang Duta Besar, bersama dengan 99 orang lainnya, pakai pantofel, dan batik di tengah teriknya matahari Jakarta. Beruntung jalanan masih lumayan lengang. Mungkin ide panitia JENESYS ini adalah suatu upaya latihan bagi kami karena nanti di sana akan lebih banyak berjalan kaki ketimbang naik bus.

Tapi, bukan itu penyebab utama yang membuat mood-ku pagi ini berantakan. Sejak semalam LINE-ku ke Ruri tak berbalas. Dibaca pun tidak. Bisa saja kalau aku nekat, kutelepon dia, atau langsung video call. Tapi, seperti yang sudah-sudah, perempuan tetaplah perempuan. Kalau urusannya menyangkut hati, segala perkara mudah berubah rumit. Pelik. Ruwet. Kacau.

Di saat yang bersamaan, aku mau tidak mau menuruti kemauan Keenan untuk berbicara lagi. Berdua saja, ketika yang lain sedang asyik jalan-jalan ke Sarinah, tadi malam.

"Aku nggak nyangka, kamu punya efek se-ngeri ini ke aku, Kar." Kalimat pertama yang Keenan ucapkan ketika aku duduk di depannya, di restoran hotel.

"Aku bisa sampe mati-matian menghapal kalimat-kalimat sederhana dalam bahasa Jepang, gara-gara tahu ada program ini. Aku inget kamu pernah bilang pengin banget bisa ke Jepang, tapi bukan liburan, bukan pake uang pribadi yang apa kata kamu?” Keenan mengajakku lebih responsif.

“Nggak mau pake uang pribadi yang jadinya nggak ada prestasinya, selain privilege ekonomi,” sahutku.

“Nah, itu. Ternyata imbalannya nggak cuma lolos, tapi bisa ketemu kamu lagi." Keenan menunduk, sesekali mencuri pandang. "You must think I'm annoying, don't you?"

Aku menggeleng, mencoba tersenyum. "Aku senang kalau bisa jadi motivasi kamu belajar."

"Sayangnya, kamu nggak mau jadi motivasiku dalam waktu lama, kan?"

"Keenan, stop it." Suaraku pelan, tapi kutahan tatapanku ke kedua manik matanya. Sedang berusaha mentransfer informasi bahwa bukan dia yang annoying, tapi sikapnya.

"Sekar, I can't fix anything? Fix us?"

"We can't, Keenan. We can't. Sorry." Ekspresiku sudah tak terkontrol detik itu, aku yakin. Keenan seketika kehilangan senyumnya.

Dia mengalihkan fokus ke meja seberang. Setelah mengambil napas panjang, dia melanjutkan, "Kalau temenin aku belanja oleh-oleh buat host family, masih bisa, kan?"

Keenan tetaplah Keenan. Masih keras kepala dengan segala caranya, yang pada akhirnya membuatku kerepotan sendiri meladeni ‘ciye-ciye’ dari peserta lain. Mereka awalnya sibuk pilih-pilih barang mana yang terlihat lebih Indonesia banget di antara tumpukan centong nasi kayu, atau magnet kulkas bentuk wayang, atau kipas lipat bermotif batik. Kegiatan itu tiba-tiba terusik menjadi ajang memastikan gosip. Kedekatanku dengan Keenan ternyata sudah disadari beberapa orang, dan jadilah bahan lucu-lucuan. Apalagi kami datang berduaan begitu.

Keenan, dengan caranya, menjelaskan kami hanya teman satu sekolah waktu SMP, yang kebetulan bertemu lagi. Mereka, dengan caranya, tentu masih semangat mengompori kami jadian saja. Dan aku, dengan caraku, membiarkan mereka menganggap kami seperti apa yang mereka mau. Malas menjelaskan.

Sampai pagi ini, ketika langkah-langkah kaki rombongan peserta ini mulai memasuki halaman Kedutaan Besar Jepang, masih ada beberapa peserta yang bertanya tentang Keenan ke aku.

"Kalian balikan, kah, Kak?" Dini berbisik setelah kami benar-benar masuk ke dalam ruang pertemuan.

"Nggak."

"Kenapa nggak? Aku lihat-lihat, kalian cocok lho!"

Aku melirik gemas. "Mau cari cowok Jepang aja."

"Astaga!"

Lihat selengkapnya