Lemon of 10 Days

Shenita Sora
Chapter #14

恋とせきとは隠されぬ (koi to seki to wa kakusarenu) : love and a cough cannot be hidden

Sekar

Tahu alarm apa yang paling bikin semangat pagi ini?

Baru sekali masuk ke telinga. Baru banget dengar langsung. Tapi, sudah mampu membuatku yang tadinya gundah-gulana jadi ingat daratan lagi.

"All passengers, we will land at Narita Airport in about 30 minutes. The current local time is 6.30 AM, and the weather is clear at 10 degrees Celsius."

Tidak bisa kusangkal kalau perjalanan menggunakan pesawat kali ini lumayan membuatku grogi. Sekitar tujuh jam perjalanan, ke luar batas teritorial negara sendiri. Sebuah pengalaman yang pasti akan aku ingat. Bukan cuma aku yang terbawa emosi, kulihat beberapa peserta yang bahkan sudah pernah keluar negeri sekali pun tetap memancarkan wajah sumringah begitu kami berjalan menuju imigrasi bandara.

Bisa jadi sensasinya memang berbeda tergantung apa tujuanmu pergi keluar negeri. Bagiku sendiri, ini bukan lagi sekadar mengunjungi negara yang terkenal dengan keindahan dan kemajuan teknologinya. Perjalananku ke sini seakan menjelma menjadi pembuktian pada diri sendiri bahwa aku bisa selama aku mau mengusahakannya. Tuhan tidak sekejam itu membiarkan hamba-Nya yang sudah pontang-panting memperjuangkan keinginan tanpa memuluskan jalannya.

Proses pemeriksaan dokumen lancar tanpa ada kendala berarti. Sebelumnya, di sela menunggu antrean, kusempatkan diri mengirim WA ke Yana, dan menelepon Bapak. Sengaja nomor Bapak yang kutuju supaya tidak terjadi huru-hara pagi-pagi buta begini. Di Jakarta masih jam lima subuh. Sesuai dugaan, kalau nomor Bapak yang kutelepon, Ibu pasti jemput bola meminta ponsel Bapak supaya bisa berbicara langsung denganku.

"Jangan lupa pake syalnya kalau keluar-keluar, Kar. Inget, ya, kalau sakit, langsung bilang ke panitia," pesan Ibu.

"Iya."

"Dingin, ya, di sana, Kar? Beku?" Suara Bapak kali ini terdengar jelas, ponsel berpindah lagi ke tangannya.

"Jadi es!" Kali ini Ibu yang menyahut dari jauh.

"Saljunya dibawa pulang, bisa nggak? Bapak mau lihat."

"Bapakmu sableng!"

Selesai mendengar celotehan Bapak-Ibu beserta tetek-bengek keimigrasian, aku dan peserta lain berjalan menuju area lounge. Selama berjalan ke lokasi, kepalaku terasa agak berat. Tiap kali memejamkan mata, aku seperti melihat pemandangan lain dari apa yang ada di sekitarku saat ini.

"Kenapa, Kar?" Teh Ella memegangi lenganku.

"Nggak apa-apa, Teh. Agak pusing aja."

"Ya ampun. Yuk, buruan. Biar bisa cepet duduk."

Sebenarnya bukan cuma kepalaku yang tiba-tiba berdenyut, badanku terasa ringan. Sudah seperti berjalan di udara. Kok belum apa-apa sudah seram begini kondisiku? Jetlag terparah yang pernah kualami. Belum lagi kelebatan-kelebatan pemandangan yang tak kumengerti. Seakan aku pernah beberapa kali ke sini. Jelas, sebuah asumsi imajinatif. Terbang sampai keluar negeri saja baru kali ini, tidak mungkin aku pernah ke Narita sebelumnya.

Meski diselimuti perasaan takenak, aku berusaha terus berjalan sambil menenangkan diri. Sebelum sampai di di tempat, tampak satu orang perempuan dan laki-laki sudah menunggu kami lengkap dengan membawa bendera bertuliskan 'JENESYS BATCH 2' besar-besar. Perempuan paruh baya itu menjelaskan bahwa mereka adalah dua dari delapan panitia yang akan menemani selama program berjalan nanti, sambil menyebutkan namanya, Kiritaki, dan nama laki-laki tinggi di sampingnya, Juna. Si panitia laki-laki sempat mengundang bisik-bisik di antara peserta perempuan lantaran penampilannya yang langsung menarik perhatian. Usai mengarahkan kami ke area tunggu, dia langsung bergerak ke area bagasi untuk berkoordinasi dengan petugas menyiapkan koper-koper kami.

Sambil menunggu koper yang jumlahnya lebih dari total peserta itu, kami mengobrol dengan Kiritaki-san. Perempuan berambut pendek itu bercerita hampir sepuluh tahun tinggal di Indonesia sebagai pengajar bahasa Jepang. Itulah yang membuat kemampuan bahasa Indonesianya luwes didengar.

Lihat selengkapnya