Juna
"Juna-san ini blasteran Jepang-Indonesia." Kalimat dari Kiritaki-san menjadi pembuka acara talkshow dadakan ini. Persis seperti yang diprediksi Mirai, peserta-peserta yang sejak awal sudah mengajakku mengobrol, makin semangat melayangkan pertanyaan.
"Lahir di Jepang? Indonesia?"
"Di Jepang." Masih berusaha kutahan senyum mengembang di wajah. Padahal sudah sepuluh menit sejak kedatangan 100 orang peserta ini, konsentrasiku goyah. Mirip dengan kejadian di Soekarno-Hatta waktu itu. Aroma parfum citrus itu muncul. Terus menggilitiki hidungku.
Kali ini bahkan wanginya nggak kunjung hilang.
"Dulu sekolahnya di mana?" Pertanyaan lain terucap.
"SD di Tokyo. SMP sampai SMA di Jakarta. Kuliahnya balik ke Tokyo lagi."
Wangi segar campuran lemon, jeruk, dan grapefruit itu masih betah bertengger di sekitarku. Aku yakin, kali ini pemakainya ada di antara peserta. Entah siapa.
"Makanan Indonesia terfavorit?"
"Rawon." Jawaban singkatku seketika membuat ricuh suasana. Mereka tertawa dengan tatapan nggak percaya. Aku ikut tergelak. "The tastiest soup in the world, lho. Iya, kan?"
"Betul! Sudah disahkan itu menurut survey dunia." Salah satu menjawab. Usianya terlihat sudah senior. Kurasa dia adalah salah satu dari peserta S2 atau mungkin S3.
"Pernah punya pacar orang Indonesia?"
Mataku masih menyapu rata wajah-wajah di depanku ini. Sebagian dari mereka saling senggol setelah pertanyaan pribadi itu tercetus. Sebagian lagi menunggu dengan tatapan antusias. Beberapa yang lain terlihat anteng di tempat duduk masing-masing, ikut mendengarkan walau nggak sampai menggerombol di depanku.
Siapa? Siapa pemakai parfum ini? Bukan makhluk tak kasat mata lagi, kan? Jujur aku mulai muak dengan perkara permen lemon mint yang terus bermunculan tiap hari. Termasuk tadi, ketika para peserta belum datang. Ada satu bungkus permen terselip—aku lebih suka menganggapnya begitu—di saku mantelku.
"Pernah," akuku sambil tersenyum simpul.
"Wah! Siapa? Teman SMP? SMA?"
"Eeeh, sudah, sudah. Jangan ramai, ya!" Kiritaki-san seraya menahan tawa, mengambil kesempatan menghentikan QnA ilegal itu sebelum makin liar ke mana-mana. Aku hanya bisa meringis kecut menyembunyikan rasa malu. Antara merutuki diri sendiri karena terlalu jujur mengaku, dan meratapi kelemahanku memimpin obrolan.
"Mau coba foto-foto di luar?" usulku mencoba menghapus kecanggungan. Beruntung sebagian besar setuju, langsung berhamburan menuju crub. Menyerbu vending machine, mencoba membeli satu-dua produk minuman, sambil sibuk mengabadikan momen dengan handphone masing-masing.
Aku sendiri menyadari satu hal. Begitu sampai di luar tadi, aroma citrusnya menghilang. Berbaur dengan mereka yang sibuk berfoto-ria itu juga nggak lantas membuat indera penciumanku membau aroma yang sebelumnya nangkring selama di dalam.
Ah, begitukah? Si pemakai ada di dalam?
Kulihat ke arah area tunggu yang dipenuhi peserta itu. Beberapa ada yang duduk, beberapa lagi ada yang berdiri. Ada satu peserta perempuan berambut pendek sebahu terlihat duduk lemas sambil menerima telepon, seperti masih digelayuti rasa lelah. Jetlag, pasti. Semoga kondisinya bisa segera membaik, mengingat jadwal kegiatannya padat.