Lemon of 10 Days

Shenita Sora
Chapter #16

花より団子 (hana yori dango) : dumplings over flowers

Sekar


Me

YAN, I MEET HIM!

 

Satu WA terkirim. Sejak tiba di APA Tokyo Bay Makuhari bibirku tak berhenti tersenyum. Selama perjalanan ke sini tadi, aku memainkan peran sebaik mungkin supaya girang hati yang menyelimutiku ini tidak sampai terpancar ke mana-mana. Ada satu momen aku bisa melepas tawa bahagia. Ketika pembagian kunci kamar, aku dan Teh Ella kembali satu kamar. Hal itu sangat disyukuri Teh Ella, karena dia merasa belum bisa berbaur dengan peserta lain, dan masih malu kalau harus membangun komunikasi dari awal lagi.

Sementara aku memasrahkan diri sepenuhnya pada program ini. Mau seperti apa pun jadinya, akan kuikuti sehikmad mungkin. Dan, sejauh ini semuanya menyenangkan. Terutama yang tadi.

Pertemuan pertama kami setelah sekian tahun.

"Rezeki banget dapet yang ada gambar lemonnya begini," kata Ruri tadi sambil memberikanku sebuah syal berwarna putih gading. Aku sadar sudah tidak mampu menutupi kebahagiaan dengan terus menatap laki-laki itu. Sama dengan program ini, mau Ruri bawakan salju mencair pun aku tetap senang luar biasa.

"Lo juga, bisa-bisanya keluar nggak pake syal? Bawa, kan?"

"Cerewet banget. Iya, bawa. Tadi siapa yang suruh cepet-cepet ke sini? Ngerengek kedinginan segala," balasku.

Ruri terkekeh. "Sini, gue pakein."

Syal lembut itu yang kini masih kupegang-pegang di atas kasur. Sampai makan siang yang disediakan panitia di masing-masing kamar peserta belum kusentuh. Sedangkan Teh Ella sudah sibuk di kamar mandi setelah menghabiskan nasi kari ayamnya.

 

Yana

SERIOUSLY? JADIAN KALIAN?

 

Aku terbatuk-batuk membaca balasan WA dari Yana.

Me

Ketemuan, woy! Bukan ajang tembak-menembak.

Yana

Yeeeu what's the difference then?

Me

Wish me luck deh. Yang penting ketemu dulu ini.

Yana

Iya, iya. Aamiiin.

Gue masuk kelas dulu. Jangan lupa oleh-oleh khusus buat gue!

 

 

"Hari ini kita belum ada jadwal apa-apa, kan, ya?" Teh Ella keluar kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk.

"Iya, Teh. Cuma briefing aja nanti sore." Aku melipat syal pemberian Ruri dengan hati-hati.

"Ternyata kamu udah punya pacar di sini, ya, Kar?"

"Ha?"

Teh Ella duduk pelan-pelan di samping syal yang sudah kulipat.

"Yang kasih ini?" tunjuk Teh Ella ke syal itu sambil mengerjap genit. "Udah berapa tahun LDR?"

"LDF lebih tepatnya, Teh. Long Distance Friendship."

"Ooo friendzone!"

"Eh, kok suka bener, ya, kalau ngomong?" Aku berkacak pinggang. Teh Ella bertepuk tangan bangga.

"Nggak, Teh. Asli. Jangan samain kisah saya sama kisah manis Teteh, atuh. Jauuuh."

"Nggak apa-apa, Kar. Yang penting itu kita paham kapan lanjut, kapan harus berhenti."

Aku tersenyum simpul, walau kalimat Teh Ella tepat menembus jantung.

Kapan lanjut, kapan harus berhenti. Memangnya kapan? I'm this stupid, I know.

Selesai ngobrol sana-sini sembari menyantap makan siang, giliranku membersihkan diri di kamar mandi. Tahu, kan, aktifitas paling produktif di ruangan keramat satu itu? Ya, melamun.

Melamunkan apa saja. Mulai dari keputusan mengikuti program ini, perang dingin dengan Ibu, sampai akhirnya di sini, berendam di bathtub hotel. Tak ketinggalan momenku dan Ruri.

Bertemu dengan Ruri di Narita tadi menjadi satu pengalaman paling iconic untukku. Lama tidak melihat secara langsung, Ruri terlihat lebih tinggi. Sedikit lebih berisi. Penampilannya jadi terlihat lebih terawat. Kalau sedang jatuh cinta itu memang level kemampuan berimajinasi meningkat 100%, ya?

Lihat selengkapnya