Juna
Musik, rasa makanan atau minuman, aroma sedap atau pun yang nggak sama sekali, adalah tiga hal pembangkit kenangan. Bagaimana lagu-lagu Peterpan, Ungu, Andra and The Backbone, Sheila On 7, jadi pengiring masa remajaku di Jakarta. Sampai sekarang, salah satu cara mengobati kangen Indonesia, ya, dengan mendengarkan lagu-lagu band itu.
Masakan Mama yang kelezatannya sudah bisa dibayangkan lewat aromanya yang memenuhi satu rumah, atau suara teriakan Minami tiap kali aku iseng menjailinya, atau suara mobil Papa yang masuk ke garasi, bisa sangat aku nantikan kalau sudah terlalu lama nggak pulang ke rumah.
Hal-hal sederhana itu sanggup menghadirkan kenangan-kenangan yang sempat terlupa.
Pun sama halnya dengan aroma parfum ini. Masih jadi pertanyaan besar di kepalaku, butuh berapa lama aku bisa terbiasa dengan aroma ini tapi bukan Lasya yang ada di pikiranku? Yang aku heran juga adalah dari semua parfum yang ada, kenapa yang satu ini khas sekali? Bukan berarti cuma dua orang ini saja yang memakainya, kan? Varian aroma ini diciptakan produsernya, jelas karena banyak peminatnya, kan?
"Oke, sekarang kita mulai briefing per kelompok. Silakan Kelompok Osaka ke sebelah barat." Aku berinisiatif meminta microphone dari Kiritaki-san, mengarahkan kelompok yang kami dampingi untuk berkumpul terpisah dari kelompok lain. Terdengar juga Mirai dan Hiroyuki ikut mengkondisikan kelompok masing-masing.
Dan, aroma itu ikut. Seakan mengekor di belakang langkah kakiku. Kini, kenangan yang muncul dari efek wangi citrus itu justru membuatku merinding.
"Sesuai jadwal, lusa kita berangkat ke Osaka. Besok pagi koper-koper akan dikirim ke sana, jadi nanti malam bisa disiapkan lagi barang apa yang perlu dimasukkan ke dalam koper supaya tidak kerepotan. Seperti yang sudah tertulis di jadwal, kita berangkat ke Osaka pakai Shinkansen. Nanti saya dan Juna-san akan mendampingi kalian selama di sana, kecuali waktu stay di keluarga Jepang masing-masing, ya,” kata Kiritaki-san sambil menunjukkan buku panduan dan jadwal per kelompok yang sudah dibagikan sewaktu briefing umum tadi.
Penjelasan Kiritaki-san itu sontak mengundang tepuk tangan. Beberapa di antaranya saling senggol lengan sambil menahan tawa. Si aroma citrus sibuk menanggapi bisikan teman di sebelahnya. Mataku fokus ke name tag-nya yang tergantung di leher.
Sekar.
"Nanti, setelah menginap dua hari di keluarga Jepang, akan ada acara perpisahan. Nah, sekarang kita perlu menyiapkan penampilan untuk farewell party-nya. Siapa yang mau unjuk kebolehan nanti?" Kiritaki-san bersiap dengan pulpen dan daftar peserta di tangannya. "Ayo, nggak perlu malu-malu."
Setelah beberapa detik saling tunjuk, ada dua tangan teracung. Kiritaki-san mengangguk puas.
"Hana-san dan Sekar-san. Nanti mau menampilkan apa?"
"Saya bernyanyi, Kiritaki-san. Lagu tradisional," jawab mahasiswi dengan nama ‘Hana’ tertulis di name tag-nya.
"Kalau saya menari tarian tradisional." Sekar menyahut setelahnya.
"File musik pengiringnya sudah ada?" tanyaku sambil menggilir tatapan ke keduanya, lalu dijawab anggukan.
"Tapi, maaf, saya nggak bisa bawa kostum tarinya. Sanggar tari nggak mengizinkan kalau disewa sampai sepuluh hari," Sekar menambahi. "Saya cuma bawa selendang tarinya saja."
"Oh, nggak masalah. Yang penting ada yang paling menunjang penampilanmu nanti," Kiritaki-san menenangkan. Sekar mengangguk lagi dengan senyum lebih mengembang.
"Bagus. Kalau penampilan grup mau diisi dengan apa?" tanya Kiritaki-san.
"Senam Poco-Poco lucu kali, ya!" usul Bu Dahlia, si ketua kelompok. Disambut tawa setuju anggotanya. Aku dan Kiritaki-san pun ikut tertawa. Meskipun saat trend senam itu aku masih di SRIT, tapi pernah beberapa kali guru kami mengajarkan gerakannya untuk senam di sekolah.
Ingatan betapa semangatnya Lasya menghapal gerakan senam itu, langsung hadir. Bahkan dia menjadi salah satu dari murid yang berdiri di baris paling depan, menjadi contoh bagi kami yang masih suka asal-asan mempraktikkan gerakan satu ke gerakan lain.
Mataku refleks kembali fokus ke si aroma citrus. Dia menyebut akan menampilkan tarian tradisional tadi.