Sekar
Tiga puluh tujuh koma delapan derajat Celsius. Angka yang muncul di termometer Kiritaki-san.
"Lagi nggak enak badan? Pusing?" tanyanya setelah menuliskan angka itu di daftar absen pagi ini.
Aku menggeleng. Karena, ya nyatanya aku memang tidak merasakan pusing, demam, atau badan linu-linu layaknya orang sakit. Kalau ditanya lemas, iya. Mungkin karena semalam habis menguras air mata di kamar mandi berjam-jam.
Tidurku memang tidak nyaman. Mungkin sekitar dua jam sebelum ponselku bergetar menunjukkan waktu subuh, rasa kantuk baru muncul. Itu pun tidak bisa aku langsung tidur, aku masih perlu membongkar isi koper lagi, karena pagi ini koper-koper akan berpindah tempat ke Osaka. Jadi, kami tidak perlu menggeret-geret tas sebesar itu di Shinkansen. Cukup membawa ransel atau tas yang tidak terlalu berat.
Look. This program even gives me a chance to ride a Shinkansen, everyone! Bukan kereta penumpang biasa yang kubayangkan kalau bisa ke Jepang. Masih mau menangisi hubungan dengan Ruri, Kar?
Masih.
Rasa malunya masih kurasakan sampai detik ini. Kalimat Ruri tadi malam masih terngiang per katanya. Tiap detik. Tiap menit. Tiap jam.
Kesimpulannya, aku sakit patah hati.
Tidak mungkin kujawab begitu ke Kiritaki-san, kan?
"Usahakan nanti sarapan yang banyak, ya," Kiritaki-san menepuk lenganku pelan. Aku mengangguk. Oh iya, tenggorokanku terasa kering. Mungkin karena habis dipakai menggerung-gerung berlomba dengan suara keran air di kamar mandi semalam.
Yeah. A broken heart is a deadly disease.
Semalam di kamar, Teh Ella juga menanyaiku habis dari mana, kenapa kok nggak pakai jaket, kok wajahku seperti habis nangis. Dan semuanya hanya kujawab, "Nggak apa-apa, Teh. Lagi capek aja."
Yeah. A broken heart turns you into a foolish liar.
Satu jam sebelum berangkat ke lokasi agenda pertama, setelah menyerahkan koper yang akan dikirim ke Osaka, kami sibuk memenuhi perut dengan menu sarapan khusus dari hotel. Bukan bersama dengan pengunjung hotel lain di restorannya, tapi kami duduk menyantap makanan di hall hotel. Tampaknya panitia meminta menu tersendiri mengingat peserta kali ini didominasi Muslim. Menunya belum terlalu Jepang, seperti sayur sop, nasi goreng, capcay, bahkan udang asam manis. Jangan tanyakan bagaimana rasanya. Sangat sehat dan light, jauh dari rasa kaya rempah Indonesia, dan tentu mecinnya.
Ada juga menu roti-rotian bagi yang tidak terbiasa sarapan dengan menu berat. Salah satu service yang kusyukuri, karena tidak menambah dramaku pagi-pagi.
Kenyang dengan sepiring udang asam manis, satu croissant serta teh hangat, aku keluar dari hall bersama Teh Ella yang seperti bodyguard. Siap siaga di dekatku. Sepertinya kondisiku pagi ini betul-betul tak sedap di pandang mata.
"Enjoy today, ya, Kar. Kalau perlu apa-apa, bilang aja. Nggak perlu sungkan."
Orang kalau sedang fragile, disentuh kalimat 'kalau perlu apa-apa, bilang aja' itu sudah seperti gelas plastik wadah air mineral yang tiba-tiba diisi air panas. Meleyot.
Kutahan-tahan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk. Sungguh, tidak lucu kalau pagi pertama di Tokyo malah kuhiasi dengan banjir air mata karena ditolak sahabat sendiri.
Astaga, judulnya saja nggak elegan sama sekali.
Ponselku memperlihatkan pukul 8.45 pagi. Kami sudah berkumpul di lobi. Persiapan melaksanakan jadwal pertama.
Excited, iya. Hati masih ngilu, iya. Mengecek LINE siapa tahu ada permintaan maaf dan penyeselan dari Ruri, juga iya.
"Heh! Kak! Astaga, curang betul kalian!" Dini menyolek lenganku dan Teh Ella brutal. "Bisa-bisanya dapet si anime hidup."
"Sesuai amal dan perbuatan, Din."