Lemon of 10 Days

Shenita Sora
Chapter #19

骨を折る (hone wo oru) : break one's bones

Sekar

"Museum Edo-Tokyo dibuka pada 28 Maret 1993. Tujuan didirikannya adalah sebagai fasilitas warisan sejarah serta untuk mengajak masyarakat selalu ingat akan sejarah budayanya dulu. Edo adalah nama kuno dari Kota Tokyo." Kiritaki-san menjelaskan lewat mini microphone-nya. "Museum ini punya ketinggian yang sama dengan Istana Edo yakni 62,2 meter dengan luas sekitar 30 ribu meter persegi."

Tepat pukul sepuluh pagi tadi kami sudah tiba di pelataran gedung delapan lantai itu. Dan, langsung heboh karena suhu hari ini terjun bebas ke angka lima derajat. Sambil merapatkan mantel masing-masing, kami memfoto penampakan eskterior bangunan yang pintu masuk utamanya terdapat di lantai ketiga itu. Lantai satunya berada di bawah tanah.

Dari pintu masuk kami menuju ke lantai lima dan enam. Di dua lantai itu ada pembagian area, yakni Zona Edo, Zona Tokyo, dan ruang pameran.

Uniknya, lantai yang kami lewati terlebih dahulu adalah lantai 6. Di sana kami berjalan di atas replika terbesar di ruangan pameran permanen itu.

"Ini Nihonbashi. Artinya Jembatan Jepang. Replika ini dibuat mirip dengan versi kayunya yang seperti di tahun 1603. Yang sekarang sudah dipugar jadi bangunan kerangka baja. Bangunan aslinya ini menghubungkan dua sisi Sungai Nihonbashi," giliran suara Juna-san terdengar di earphone peserta. "Area itu menjangkau Akihabara di utara dan Sungai Sumida di timur, Otemachi di barat, dan Yaesu serta Kyobashi di selatan."

"Nihonbashi," ulangku pelan. Rasanya kata itu sudah pernah kusebut sebelumnya. Sama sekali tak terdengar asing. Pernah kubaca di mana, ya?

Sambil menyusuri jembatan, aku dan Teh Ella juga tak kalah sigap mengabadikan momen itu dengan kamera masing-masing. Beberapa kali juga berfoto dengan peserta satu grup.

"Nihonbashi," sebutku sekali lagi. Entah, rasanya ada sesuatu yang aneh. Perasaan taknyaman itu terus ada selama aku menghabiskan beberapa menit di atas replika jembatan yang juga dipenuhi rombongan murid SMP dan SMA tersebut.

Layaknya tingkah murid pada umumnya, para remaja Jepang itu juga lebih antusias dengan ponsel di tangan untuk selfie, we-fie, dan memenuhi gallery dengan berbagai macam hasil jepretan kamera, ketimbang mendengarkan penjelasan guru atau tour guide mereka.

Beda tipis dengan kelakuan kami tadi, yang masih berusaha fokus mendengar penjelasan Kiritaki-san dan Juna-san. Namun, tetap agenda utamanya adalah foto-foto, seperti kata salah teman satu grupku di bus tadi.

Beberapa detik perhatianku terpusat ke arah mereka. Tadi di depan museum, kami juga sudah berpapasan dengan rombongan study tour itu.

"Study tour, ya?"

Kenapa aku ini? Daritadi terus saja merasa ada yang aneh.

"Nah, di sebelah sana itu. Seperti yang bisa kalian lihat, itu adalah maket-maket kehidupan pada periode Edo," kata Kiritaki-san kemudian.

Lokasi yang dimaksud adalah di seberang jembatan. Kami berjalan mendekati deretan maket-maket tersebut. Ada yang menggambarkan lokasi pasar dan permukiman dengan lapangan terbuka di tengah setiap blok untuk tempat berkumpul.

"Tokyo Kuno atau Edo mengalami kemajuan pesat dibawah pimpinan Shogun80 Tokugawa Ieyasu. Dia memilih Edo sebagai markas besar pasukannya pada tahun 1590. Permukiman masyarakat juga cepat berkembang, dengan Istana Edo sebagai pusatnya. Nah, ini maket sebagian bangunan Istana Edo."

Aku paham, sangat paham sekali kenapa pada saat begini peserta lain justru sibuk merekam atau memfoto, seperti kelakuan anak-anak SMP dan SMA tadi. Tidak banyak dari kita yang antusias dengan kisah sejarah, kan? That’s it.

Yang takbisa kumengerti adalah diriku sendiri. Bukannya salah fokus dengan mengarahkan kamera ke berbagai sudut, aku malah tidak melewatkan sedetik pun tanpa ada perasaan aneh yang pertama kali muncul ketika sampai di replika Nihonbashi tadi. Penjelasan Kiritaki-san makin lama makin terasa biasa di telingaku, layaknya sudah pernah kudengar sebelumnya.

Lihat selengkapnya