Lemon of 10 Days

Shenita Sora
Chapter #20

口車に乗る(kuchiguruma ni noru) : get on by someone with glib talk

Sekar

"Kalau nanti gue akhirnya bisa ke Jepang, ada satu wishlist yang harus segera gue tuntaskan, Kar," kata Ruri suatu siang ketika kami sibuk mengunyah mie ayam di kantin sekolah.

"Apa?"

"Makan tempura."

Aku tertawa. "Tempura banget wishlist lo?"

Ruri mengangguk mantap. "Lo lihat, noh, menu warung Bu Syukur. Tempura. Dan lo tahu kan apa yang dijual? Tepung goreng. You know what I mean, so yeah I'd like to eat tempura first by the time I arrive in Japan."

"Oke, oke. Jadi, lo mau menjulidi hasil kata serapan tempura versi Indonesia dengan versi aslinya?" tanyaku mencoba serius, walau gemas ingin menggetok kepala laki-laki itu. Dari semua yang bisa dicoba, tempura jadi pilihannya.

"Bukan menjulidi, Kar. Apa, ya , bahasa pasnya? Ah! Membandingkan dan mencari perbedaannya."

"Lalu menentukan titik kesalahannya?"

Ruri terkekeh. "Itu juga. Tapi, gue penasaran sih kenapa bisa tempura yang ada di pasaran Indonesia ini malah tepung yang katanya ada udangnya atau apalah. Kan, ya, harusnya udang utuh, atau sayuran macam terong, dicelup ke tepung basah, terus dibalut tepung panir."

"Cari aja di Marugame. Atau Hokben, deh."

"Itu juga, menurut gue pasti rasanya sudah terkontaminasi MSG-nya Indonesia. I need the original one."

"Agak ribet ya, Pak."

"Kinda. Nanti kita makan bareng tempura yang original version-nya, Kar. Terus lo upload di Instagram, pake caption 'TEMPURA'. Caps lock, jangan lupa."

Bahkan sesepele tempura yang original version sudah jadi daftar tunggu kalau kita bisa sampai di Jepang, Ri. Lupa?

Sekarang di hadapanku sudah tersaji menu makan siang, yang akhirnya Jepang banget. Shabu-shabu dan tempura udang.

Tampilan tempura-nya agak beda dari yang kamu mau, Ri. Nggak pake tepung panir, tapi ini sudah bener harusnya.

Sama dengan yang lain, aku juga ikut mengambil foto tampilan makanan yang kalau di Indonesia ini sama sekali tak bersahabat di kantong mahasiswa. Niat untuk mengirim foto itu ke Ruri, memang ada. Lihat nanti, apa masih ada nyaliku untuk memulai obrolan walau lewat LINE.

Selesai acara makan siang, kami melanjutkan jadwal touring hari itu. Kali ini setelah mengubek-ubek Zaman Edo, kami bertandang ke Meiji Jingu. Salah satu Kuil Shinto terbesar dan yang paling populer di Jepang.

"Meiji Jingu, salah satu kuil Shinto di Jepang yang sudah ada sejak 1920. Kuil ini dibangun untuk memperingati Kaisar Meiji dan Permaisuri Shoken yang membuat Jepang terbuka dengan dunia luar," buka Kiritaki-san ketika kami sudah sampai di lokasi.

Sebelum benar-benar masuk di area kuil, kami harus melewati tiga torii. Pintu gerbang yang bentuknya mirip gapura kalau di Indonesia, tingginya mencapai 12 meter.

"Torii punya fan fact lho," ujar Kiritaki-san ketika kami sudah di depan torii pertama. "Torii adalah gerbang yang dianggap sebagai pemisah antara dunia manusia dengan dunia para dewa."

"Hooo!" koor kami kompak. Kuteliti bangunan itu dari bawah sampai atas. Terbuat dari kayu yang besar. Sebelum Kiritaki-san menjelaskan makna dari gerbang ini, suasananya sudah magis. Begitu disebutkan hal tadi, makin kuat aura spiritualnya.

"Untuk lewat di bawahnya juga ada caranya sendiri." Juna-san berjalan mendekati torii. "Jalur kanan dan kiri adalah bagian yang diperbolehkan untuk dilewati manusia. Jangan lewat di tengah-tengahnya."

Laki-laki ber-sweater abu-abu itu berjalan kembali ke kelompok. Sengaja tidak langsung menyelesaikan penjelasannya. "Karena jalur tengah itu untuk para dewa. Saya tahu kemungkinan kalian tidak mempercayai apa yang diyakini umat Shinto, tapi nggak ada salahnya menghormati keyakinan mereka. Jadi, tolong kalau berjalan di bawah torii, lewat sebelah kanan atau kiri. Oke?"

Kami mengangguk seperti terhipnotis. Bagaimana pun ramainya pengunjung di kuil ini. Mau sepopuler apa pun tempat ini. Kuil tetaplah kuil. Tempat beribadah umatnya. Sudah pasti ada aturan yang harus dihormati dan diikuti.

Sesuai instruksi, kami pun melewati torii di sisi kanan. Baru beberapa langkah, tiba-tiba jantungku berdetak cepat. Sampai perlu kuberhenti sebentar, menarik napas dalam. Memastikan detaknya bisa kembali normal, tapi ternyata tidak.

"Kenapa, Kar?" Teh Ella yang memang berjalan dekat denganku, sadar aku menghentikan langkah.

"Nggak apa-apa, Teh." Kutepuk-tepuk pelan dada kiriku. Menarik napas. Membuang napas. Berulang-ulang.

"Ih, kenapa kamu? Minum dulu, minum dulu."

Kuturuti ucapan Teh Ella, meneguk air mineral fasilitas dari bus yang sudah kusimpan di totebag.

"Kenapa?" Sebuah suara ikut muncul, hampir membuatku tersedak.

Tidak. Jangan dia lagi. Masih terasa maluku sampai ke persendian, kalau ingat kejadian semalam ditambah adegan selfie-selfie dengan Keenan di museum tadi.

"Juna-san, iya ini nggak tahu si Sekar kenapa. Mau istirahat dulu?" Pertanyaan Teh Ella makin membuat suasana jadi lebih panik. Juna-san yang awalnya hanya berdiri agak jauh dari posisiku, sekarang mendekat. Melakukan salah satu hal seperti yang dia lakukan semalam. Mengecek keningku.

"Agak anget. Kamu yakin kuat jalan masuk?" tanya dia. Dari jarak sedekat ini, dengan tubuhnya yang agak membungkuk agar bisa menatapku, bisa kulihat jelas pula wajah bersihnya. Sorot matanya yang pagi ini tak terhalang lensa kacamatanya, menyiratkan khawatir.

"Kenapa, Juna-san?" Sekarang suara Kiritaki-san terdengar.

Good, Sekar. Terusin aja dramanya, biar sekalian semua orang tanya kenapa.

"Nggak apa-apa, Kiritaki-san. Agak capek aja kayaknya. Tapi, sudah nggak apa-apa, kok," jawabku tak beraturan, dan tetap membuat Kiritaki-san ikut menyentuh keningku.

Lihat selengkapnya