Sekar
A heartbreak is a blessing from God. It's just His way of letting you realize He saved you from the wrong one. Konon begitu kata banyak orang. Entah itu kenyataannya atau hanya kata-kata bijak pelipur lara. I don't even know who's the saved one, who's the wrong one. Aku yang diselamatkan dari Ruri, atau Tuhan justru tengah menyelamatkan Ruri dari manusia macam aku?
"Sebelum kita melanjutkan perjalanan, saya ada pemberitahuan sebentar," ujar Kiritaki-san dengan air muka serius. Kami yang sudah duduk kalem di bus menanti destinasi berikutnya yang paling dinanti hari ini, jadi agak menegang. Termasuk aku. Sudah siap menggerus overthinking tentang Ruri dengan menghabiskan waktu di tempat selanjutnya, ikut cemas mendadak mendengar suara Kiritaki-san barusan.
Apa dari kami ada yang membuat kesalahan selama di kuil?
"Telah ditemukan sebuah dompet di sekitar kuil tadi. Tolong silakan cek barang bawaannya masing-masing, kalau ada yang merasa kehilangan, segera ke saya."
Seketika mendengar itu, suara krasak-krusuk disertai pertanyaan-pertanyaan 'siapa' memenuhi bus.
"Saya tidak akan menyebutkan ciri-ciri dompetnya. Kalau memang merasa punyanya yang hilang, bisa ke saya sekalian menyebutkan ciri-cirinya."
Aku dan Teh Ella juga tak kalah heboh mengaduk-aduk isi tas memeriksa apakah benda keramat milik kami yang dimaksud.
Juna-san berdiri di samping Kiritaki-san sama-sama pasang wajah serius. Sebenarnya wajahnya memang begitu, sih. Terkesan selalu serius. Cenderung dingin, tapi ketika berhadapan dengan kami di situasi santai, dia bisa terlihat supel. Karena tuntutan pekerjaannya, kurasa.
"Teh," panggilku dengan suara tercekat. Sadar sesuatu. "Teh Ella, dompetku, Teh."
"Ha? Punya kamu yang ilang?" Saking kagetnya, suara Teh Ella meninggi sampai bisa didengar satu bus. "Yakin? Coba cari dulu yang bener."
"Siapa? Punya siapa yang hilang?" sahut Kiritaki-san.
"Saya," jawabku setelah yakin benda berharga itu tak kutemukan di sudut mana pun di dalam totebag. Aku segera menghampiri pendamping grup itu.
Pikiranku melayang ke adegan-adegan di kuil tadi. Mengira-ngira kapan dan di mana aku kehilangan dompet. Yang muncul di kepala malah saat nenek-nenek yang tiba-tiba menyapaku seolah aku baru saja pulang ke rumah. Bulu kudukku meremang mengingat suaranya.
"Punyamu?" tanya Kiritaki-san memastikan, setelah mematikan microphone-nya. Masih dengan sorot mata tajam. Sejak kemarin, baru ini aku merasa seram di dekat perempuan baruh baya yang enerjik ini.
"Iya." Aku melirik sebentar ke Juna-san yang hanya diam.
"Coba sebutkan bagaimana ciri-ciri dompetmu?"
"Jenis dompet lipat. Warna kuning muda. Motif bunga-bunga kecil, warna putih." Aku berhenti sejenak. Berpikir apa lagi hal yang perlu kusebut.
"Besar atau kecil?" tanya Juna-san.
"Kecil. Ehm, mungkin sekitar segini." Kubuat gambar di udara dengan imajinasi ukuran dompetku. "Berapa, ya? Sebelas centimeter, mungkin?"
"Di dalamnya ada apa saja?" Kiritaki-san bertanya lagi.
"Uang dan kartu. Perlu saya sebut nominalnya?" tanyaku terdengar agak konyol. Kiritaki-san mengangguk tanpa bersuara. Suasana masih menegangkan, terasa akulah pencurinya.
"Uang 17.000 yen dan 200.000 rupiah. Kartu ATM, KTP, KTM, Kartu Perpustakaan."
Ketika kusebut satu-satu printilan yang kuingat di dalam situ, Kiritaki-san juga mengecek isi dompet yang masih disembunyikan di balik tasnya.
"Ada lagi?" tanya Kiritaki-san lagi.
"Oh, iya. Foto. Dua foto. Satu foto keluarga saya; ayah, ibu, saya. Terus, ada juga foto waktu saya masih kecil. Seperti foto kelebihan buat rapor SD kelas satu."
"Oke." Kiritaki-san mengeluarkan benda dari dalam tasnya. Dompet dengan ciri-ciri desain persis seperti yang kudeskripsikan, diserahkan padaku. "Tadi Juna-san yang menemukan dompetmu. Lain kali hati-hati, ya, Sekar-san."
"Arigatou gozaimashita, Kiritaki-san, Juna-san." Melihat barang itu, rasanya antara lega dan tidak percaya. Di mana sebenarnya aku kehilangan dompet ini?