Lemon of 10 Days

Shenita Sora
Chapter #22

因果応報 (ingaouhou) : what goes around, comes around

Sekar

Fungsi sebuah foto adalah bukan sekadar untuk menyimpan kenangan. The picture speaks a thousand words. Seberpengaruh itu efek dari foto. Sampai banyak fotografer berlomba menampilkan hasil bidikan kamera yang ciamik.

Seperti dunia mengenal Kevin Carter, fotografer viral di tahun 1993 dengan karya epiknya. Foto seorang gadis kecil Sudan yang meringkuk dan burung bangkai yang seolah menunggu waktu untuk menyantap mangsa di depannya itu. Di Indonesia ada Tragedi Zakat Maut tahun 2008 di Pasuruan. Foto-foto di media massa saat itu menunjukkan betapa sesaknya ribuan manusia berhimpitan hanya demi uang 30.000 rupiah. Atau, foto yang menunjukkan Faris Fayiq Odeh, anak Palestina, dari angle belakang yang tengah melempar batu ke arah tank milik IDF di tahun 2000.

Meski momen-momen itu diambil di tahun jauh sebelum aku lahir, aku tetap bisa mengetahuinya. Saking dramatisnya kisah yang bercerita lewat tangkapan kamera para fotografernya. Siapa pun bisa ikut terhanyut, berempati, atau bahkan mungkin marah hanya karena satu foto. Satu gambar. Yang terfoto akan diingat. Yang memotret akan dikenang.

Sekali lagi, beginilah pendahuluan yang tercipta di otak korban patah hati hanya untuk mencurahkan betapa sebenarnya dia merindu seseorang.

Gallery ponselku penuh dengan foto-foto walau masih hari pertama menjalani program ini. Sayangnya cerita yang ada di foto-foto ini tidak bisa kubagikan ke satu orang itu. Satu orang yang mirisnya adalah alasan pendorongku untuk ikut seleksi. Satu orang yang tadinya kuharap bisa menambah gallery ponselku dengan cerita lain, foto-foto lain. Satu orang itu mungkin juga bisa ikut terhanyut, berempati, atau mungkin marah karena foto yang kuambil punya cerita yang berkesan. Bisa kubayangkan juga dia pasti menyalah-nyalahkanku atas hilangnya salah satu foto memorable-ku di dompetku.

Sekian juta manusia tumpah-ruah di Takeshita Dori, hanya ada satu manusia yang bercokol di kepalaku. Masih belum mau musnah dari bayang imajinasi. Yang dengan sangat kurang ajarnya menghabiskan separuh energiku yang seharusnya bisa kugunakan untuk bersenang-senang, justru terkuras untuk menenangkan pikiran.

"Jangan dihabiskan dulu uang sakunya untuk belanja di sini, ya. Ingat, perjalanan kita masih ada sembilan hari lagi. Masih banyak yang bisa dibeli," goda Kiritaki-san saat melihat kami kalap masuk ke Daiso dan toko lain yang berderet di jalanan super padat tersebut.

Di sebelahnya, Juna-san tersenyum simpul setuju dengan wanti-wanti dari Kiritaki-san.

Laki-laki satu itu, aku sudah taksabar untuk bertanya lebih lanjut tentang penemuan dompetku.

"Kamu mau beli apa sebenarnya, Kar? Daritadi aku perhatiin difoto mulu barangnya. Kamu buka jastip?"

Aku tergelak mendengar Teh Ella bertanya sambil berbisik curiga. "Bisa kali, ya? Lumayan, kan, bisa balik modal, Teh."

Teh Ella menaikkan kedua alisnya. "Beneran mau gitu?"

Aku tertawa lagi. Orang kalau lagi patah hati itu memang suka jadi gila, ya? Sebentar jadi pakar fotografi ngomongin karya-karya legendaris. Sebentar kemudian jadi owner olshop jastip.

"Bercandaaa. Cuma lagi mikir-mikir, Teh. Mana yang sekiranya kalau nggak kebeli, nggak bakal bikin nyesel. Cukup liat fotonya aja udah puas. Gitu."

"Ada-ada aja caramu."

🍋

"Beli apa aja tadi?" Keenan berjalan pelan menyamai langkah kakiku. Setelah puas cuci mata dari satu toko ke toko lain di Takeshita Dori, salah satu spot paling diincar di Harajuku, kami menyantap makan malam di restoran India dekat hotel beberapa menit yang lalu.

"Nggak banyak. Cuma oleh-oleh buat teman kuliah."

"Buat aku nggak ada?"

"Ha?"

Lihat selengkapnya