Lemon of 10 Days

Shenita Sora
Chapter #23

懐かしい (natsukashii) : fondly-remembered

Juna

"Boleh."

Senyum tersungging, tapi wajahnya masih meneteskan air mata. Aku terhenyak. Ekspresi seperti ini pernah sekali kulihat dulu. Sesaat sebelum Lasya masuk ke ruang operasi untuk terakhir kalinya. Dia tersenyum, tapi dia juga menangis.

"Inget, ya, Jun. Cowok boleh kok nangis, tapi setelah itu harus kuat lagi."

"Arigatou gozaimasu, Juna-san." Sekar berjalan setengah berlari berbaur dengan teman-temannya. Sementara aku masih menetralisir desir darah yang terasa sampai membuatku bergidik.

Senyumnya di sela tangisnya tadi. Kenapa terasa sangat Lasya?

Pikiran konyol itu terus menggelayuti otak hingga akhirnya kami sampai di hotel lagi. Aku yang memang jadi berjalan di belakang rombongan setelah obrolan singkat dengan Sekar, juga paling akhir masuk ke lobi. Di salah satu sofa tampak Sekar sudah duduk.

"Juna-san!" panggilnya sambil berdiri. Sekarang wajahnya sudah lebih segar dari sebelumnya. Sisa merah di ujung hidungnya masih bisa terlihat, tapi sudah nggak separah yang awal.

"Kita nggak perlu kumpul kelompok dulu?" tanyaku sambil memperhatikan peserta lain menunggu giliran naik lift sambil saling janjian berkumpul di satu tempat untuk membicarakan penampilan di prefektur masing-masing.

"Iya, tapi Kiritaki-san kasih waktu siap-siap dulu. Saya nggak perlu siap-siap, jadi saya tunggu Juna-san aja."

"Oh, gitu. Oke." Aku duduk di sebelahnya. Beberapa peserta yang akan masuk ke dalam lift, berbisik-bisik setelah melihat ke arah sofa tempatku dan Sekar duduk. Aku hanya melempar senyum ketika pandangan mereka masih curi-curi ke sini.

"Ada perlu apa?" tanyaku kemudian.

"Ini soal dompet saya. Juna-san menemukannya di mana tadi?" Sorot mata Sekar lekat menatapku. Sepertinya dia mulai curiga karena isi dompetnya nggak lengkap.

"Seperti yang sudah saya jelaskan di bus tadi. Di dekat tempat parkir."

"Berarti jatuhnya di situ, ya? Padahal seingat saya, saya nggak ada keluar-keluarin dompet di sekitar situ."

Seperti tertangkap basah, susah untuk berkelit, aku membuang napas pelan. "Sebenarnya saya juga nggak tahu jatuhnya di situ atau nggak. Jadi, ada seorang nenek yang datang ke saya, dia menyerahkan dompet kamu ke saya. Katanya dia temukan di dekat toilet perempuan."

"Nenek-nenek?" Kali ini matanya membelalak. "Nenek-neneknya udah ubanan banget? Eh, maksud saya, rambutnya penuh uban?"

"Iya." Aku mengangguk. "Kamu tahu orangnya?"

"Nenek-neneknya friendly gitu, kan?"

"Eh? Ehm ... mungkin? Saya nggak begitu akrab?"

"Ah! Ternyata orang, ya?"

"Ha?"

Sepanjang tanya jawab memastikan ciri-ciri si nenek, ekspresi Sekar terlihat lucu sekaligus kasihan. Antara takut, penasaran, kaget. Campur jadi satu.

"Eh, nggak. Maksud saya, itu, si neneknya, bukan cuma saya yang lihat dia."

"Kamu juga ketemu dia? Atau jangan-jangan dia yang ambil dompet kamu?" tanyaku ikut kaget.

"Bukan sih, kayaknya. Jadi, gini." Perempuan itu meremas jari-jarinya, menarik napas dalam, lalu memusatkan fokusnya lagi ke tatapanku. "Tadi saya memang ke toilet, tapi sebelum itu saya didatangi si nenek. Tiba-tiba aja dia nyapa saya. Dia bilang 'okaeri', sampai dua kali. Akhirnya saya jawab aja 'tadaima'. Memangnya ada adat di Meiji Jingu nenek-nenek nyapa pengunjung lain dan harus disahutin, ya?"

Keningku berkerut. Aku nggak paham arah pembicaraan dia. Dilihat dari cara penuturannya yang sungguh-sungguh ini, nggak mungkin rasanya Sekar sedang berbohong.

"Setahu saya selama di Jepang, saya nggak pernah dengar ada adat begitu."

"Tuh, kan!"

Sebentar, curiga. Sebentar, takut. Sebentarnya lagi, marah. Banyak sekali ekspresi yang ditunjukkan perempuan satu ini. Aku sendiri bahkan hampir lupa kalau beberapa menit sebelumnya dia tampak rapuh dengan tangisnya.

"Terus soal foto? Foto saya jaman kelas satu SD itu? Si nenek nggak bilang apa-apa?"

Lihat selengkapnya