Lemon of 10 Days

Shenita Sora
Chapter #25

木枯らし (kogarashi) : cold wintry wind

Sekar

Sekarang aku paham bagaimana rasanya kalimat: Yang paling dikangenin orang rantauan adalah makanan dari kampung halamannya.

Asli. Baru berapa lama sih aku di Jepang? Melihat pecel lengkap dengan tempe dan tahu goreng, telur mata sapi, kerupuk bawang, dan sambelnya, ditambah dua tusuk sate ayam, sudah segirang ini. Layaknya orang yang bertahun-tahun belum kembali ke Indonesia. Gimana Ruri, ya?

Mulaaai. Kumat, ya, Kar? Kumat.

"Dari mana aja ini, Mbak-Mbak sama Mas-Masnya?"

"Saya Jakarta, Pak."

"Surabaya hadir!"

"Padang di siniii!"

"Semarang, Semarang!"

Absen kota masing-masing masih terus terdengar dari meja-meja lesehan yang terisi. Siang ini Happy Bali terasa penuh sesak oleh 25 peserta JENESYS, plus dua orang pendamping grup. Oh iya, ada tambahan dua panitia lagi yang asli orang Osaka untuk membantu menjelaskan tempat-tempat kunjungan kami selama di sini. Satu perempuan, bernama Ayaka. Satu laki-laki, bernama Yusuke. Total ada empat orang pendamping kami sekarang. Kiritaki-san dan Juna-san juga layaknya mendapat bonus waktu untuk leluasa menggunakan bahasa ibu, mengobrol di meja sambil menyantap menu makan siang yang sama.

"Sambelnya enak, ya?" celetuk Kiritaki-san. Seketika disetujui oleh mahasiswa-mahasiswi sok home sick ini.

"Kerupuknya juga juara, sih. Impor dari Indonesia langsung, Pak?"

"Iya, kalau untuk restoran ini kebetulan memang dipesan langsungan dari Indonesia. Tapi, sekarang di Jepang sudah banyak yang jual kerupuk kita, lho. Kalau ada waktu, jalan-jalan ke toko Thailand, mereka jual bahan makanan Indonesia juga," jelas pria berkumis itu semangat.

Namanya Pak Anwar, asli Yogyakarta. Sudah bekerja di Happy Bali hampir tiga tahun, setahun sebelumnya bekerja di pabrik es krim. Sedangkan pemilik restorannya asli orang Bali, kebetulan sedang tidak berada di tempat, jadilah Pak Anwar ini yang merangkap sebagai penerima tamu menyambut rombongan kami. Dua lagi temannya sesama pegawai di sini, Pak Rudi dan Pak Didit. Ketiganya sama-sama pernah bekerja di pabrik, kemudian melanjutkan mencari nafkah di sini. Hasil wawancara singkat kami tadi sewaktu beliau mengantarkan minuman ke masing-masing meja.

Setelah cerita-cerita sedikit itu, mereka kemudian memberi kami ruang untuk memuaskan nafsu makan dengan cita rasa Indonesia. Iya, rasanya lumayan bisa mengobati kangen yang diderita lidah kami, tapi jus jeruknya tetap Jepang sekali. Murni rasa jeruk, masih ada rasa asamnya sedikit, minim gula.

Buatku bukan masalah, malah kalau bisa request, aku ingin minum lemon tea atau iced lemonade saat ini. Tidak berlaku pada Teh Ella yang bahkan taksanggup menyesap tegukan kedua, dan memilih menyerahkan sisa jusnya untukku. Lantas dia meminum air putihnya saja.

Kenyang dengan sajian makan siang bak momen buka puasa itu, kami berjalan kaki menuju bus yang sengaja diparkir agak jauh dari lokasi restoran. Mungkin sekalian supaya nasi dan pasukannya tadi benar-benar turun ke perut.

"Aktor Jepang kesukaan kalian apa? Atau aktris bagi yang cowok-cowok," tanya Yusuke-san santai membuka obrolan.

"Kento Yamazaki, no debate!"

"Kentaro Sakaguchi! Eh, doi mirip Seo Kang Jun, kan? Ganteng banget!"

"Kanna Hashimoto, si idola yang lahir 1000 tahun sekali!"

"Mirei Kiritani, sih tetep paling cute!"

Yusuke-san membelalakan mata sembari menahan tawa. Sementara nama-nama aktor dan aktris kenamaan lain makin banyak disebut, membuat rombongan ini mendominasi suara di jalanan sepi ini sebelum sampai ke jalan raya.

"Sugoi!92 Hapal, ya, kalian?" seru Yusuke-san.

"Dari mereka kami belajar bahasa Jepang dikit-dikit, Yusuke-san," jawab salah seorang peserta. Aku mengangguk mengiyakan.

"Kalau kamu? Ehm ... Sekar-san?" Yusuke-san tersenyum lebar setelah berhasil membaca nama di name tag-ku. Pelafalannya tidak terlalu smooth, tapi lumayan luwes menyebut namaku. Aku yang masih malu dan merasa bersalah atas kejadian telat berangkat dan hampir ketinggalan Shinkansen, memang sengaja tidak banyak berinteraksi. Sayangnya karena berdiri di belakang Yusuke-san tepat, jadi dia tahu aku tidak ikut buka suara.

"Saya?"

"Aktor atau akrtis favoritmu siapa?"

"Wah, siapa, ya?" Aku berpikir sejenak. Jujur saja semuanya aku suka, dan kebetulan sudah lama pula aku tak mengikuti perkembangan entertainmen Jepang gara-gara sibuk membedah novel-novel English classic. Dulu sewaktu bahasa Jepang masih jadi mata pelajaran yang setiap hari kupelajari di SMA, aku lebih sering menonton drama-drama tahun 2000-an awal.

Lihat selengkapnya