Lemon of 10 Days

Shenita Sora
Chapter #26

幽玄 (yuugen) : mysterious beauty

Juna

Hati-hati kubuka pintu depan bus yang memang nggak sepenuhnya ditutup. Masuk ke dalam untuk melihat kondisi seseorang yang tadi hampir membuatku gila karena tiba-tiba pingsan, cukup membuatku kembali merasakan sensasi ini. Takut. Marah. Cemas. Walau suhu hari ini nggak sedingin kemarin, tapi nggak bisa dianggap normal kalau aku keringatan seperti ini.

Pelan-pelan aku berjalan di lorong kabin. Bangkunya berada agak di belakang, sebelah sisi kananku. Usai beberapa langkah, terlihat perempuan berambut pendek sebahu memakai mantel dan syal yang menutupi setengah wajahnya, sedang terpejam dengan kepala bersandar ke jendela bus. Kupertajam penglihatanku, kemudian kudapati pundaknya naik-turun seirama dengan napas teraturnya. Seolah tindakanku itu menganggu, kedua matanya perlahan terbuka. Aku berusaha tetap berada di posisi supaya dia bisa tahu siapa yang sedang memperhatikannya.

"Gimana keadaan kamu?"

Aku duduk di bangku depannya, di sisi kanan dari arah bangkunya. Sengaja aisle seat yang kupilih, agar bisa lebih mudah menengok ke posisinya. Nanti.

Kali ini kuarahkan pandangan ke depan, ke bangku-bangku kosong. Para penghuninya sekarang sedang asyik mengeksplor Sumiyoshi Taisha.

"Juna-san," suaranya masih agak parau.

"Hm?"

"Tasukete kurete arigatou gozaimashita."102

"Sudah jadi tanggung jawab saya."

Salah. Nggak sepenuhnya benar. Apa yang terjadi padanya tadi di depan menara utama Istana Osaka, membuatku panik. Kalau bukan Yusuke yang menyadarkanku untuk menghubungi Kiritaki-san yang sedang mendampingi peserta di dalam menara utama, sudah pasti kami bukan di dalam bus sekarang, tapi di rumah sakit. Dan nggak akan pernah ada negosiasi lagi untuk keikutsertaannya di agenda kunjungan.

Masih sangat segar di ingatanku bagaimana tiba-tiba tubuh Sekar lemas setelah sempat menyebut namaku seperti cara Lasya memanggilku.

"Jun? Juna ... Juna-chan?"

"Maaf sudah selalu membuat masalah."

"Seenggaknya kamu kasih tahu saya, kamu sakit apa? Kalau ada apa-apa lagi saya bisa tahu harus melakukan apa." Emosiku kali ini hampir nggak terkontrol. Kukepalkan kedua tanganku di atas paha. Kedua tangan yang menangkap tubuhnya jatuh lemas di depanku tadi.

"Juna-san."

"Jadi kamu sakit apa?" Napasku sudah memburu, aku bangkit dari duduk dan menghampirinya. Tanpa bisa kutahan lagi, kuletakkan telapak tanganku di keningnya. "Saya cek dulu suhu badan kamu."

Seakan nggak puas dengan yang kurasakan, aku butuh alat medis yang sesuai fungsi. Angka 36,4 tertera di thermo gun.

"Juna-san, lemon mint ame ga mada arimasu ka?"103

"Ha?"

Senyumnya tipis, nggak sampai membuat matanya melengkung manis. Dia belum sesehat itu untuk minta permen di kondisi seperti ini.

Astaga, siapa yang gila sebenarnya sekarang?

"Permen lemon mint-nya masih ada, kan? Saya mau," ulangnya seperti aku nggak paham kalimat sebelumnya.

Masih dikuasai emosi yang makin sulit kukontrol, kurogoh saku mantelku kasar. "Ini. Ambil semuanya."

Dua bungkus permen yang nggak pernah absen bermunculan itu diambilnya pelan-pelan. Lihat, untuk menggerakkan tangan seperti itu saja kamu belum sepenuhnya kuat, Sekar.

"Juna-san percaya reinkarnasi?" tanyanya lagi.

"Ha?" Percakapan ini makin ngelantur kemana-mana.

"Saya merasa sudah pernah mengalami banyak hal di sini sebelumnya." Dia menggantung kalimatnya. "Apa yang saya alami di Narita, Museum Edo-Tokyo, Meiji Jingu, dan Istana Osaka tadi, adakah penjelasan logisnya? Saya kan nggak pernah ke Jepang sebelumnya."

Setelah permen itu berpindah tangan, handphone yang sekarang kupegang. Menggulir layarnya cepat demi menemukan nomor kontaknya.

"Satu-satunya penjelasan logis atas semua itu adalah kamu kurang sehat," jawabku berusaha santai. "Itu nomor saya, hubungi cepat kalau ada apa-apa."

Handphone Sekar bergetar tanpa dipedulikan pemiliknya. Nggak bermakusd jahat, tapi bahaya juga kalau aku ladeni dia. Bisa-bisa aku mulai percaya kalau semua kesamaan antara dia dan Lasya memang bukan kebetulan.

Tanpa menunggu Sekar mematikan panggilan dari nomorku, aku berjalan meninggalkan bangkunya.

"Lasya. Siapa itu Lasya?"

Lihat selengkapnya