Sekar
"Sekar!"
Mata dan tanganku yang awalnya sibuk meneliti antara dua benda mana yang akan kubeli, seketika teralih ke asal sumber suara.
"Ruri?" Kotak bekal dan notebook di tanganku sudah kehilangan pesonanya. Laki-laki di hadapanku kini yang menguasai duniaku. Oh, dan perempuan cantik di sebelahnya.
"Lagi kunjungan ke sini?" Mata Ruri mengedar pandangan ke beberapa peserta yang juga memenuhi toko aksesori ini. "Lo seneng banget pasti, bisa nge-mall juga."
Aku terkekeh. "Iya, kan? Program exchange mana lagi yang bikin mall jadi tempat kunjungan?"
Suaraku dan cara bicaraku tenang nan lancar betul menuturkan kalimat itu. Seakan tak terpengaruh dengan kehadiran perempuan di sebelah Ruri.
"Oh, iya. Kenalin, ini Harumi. Harumi, kore wa Sekar120."
"Ah, Sekar-san. Ruri told me a lot about you. Thank you for being this dumbest man’s friend." Harumi mengulurkan tangan untuk menjabat tanganku. Senyumnya cerah mengembang. Aura orang jatuh cinta memang beda, ya? Kentara sekali kebahagiaannya memancar.
Kusambut jabatan tangannya, pasang wajah pura-pura memelas pasrah. "Well, my destiny."
"Such a hard destiny, isn't it?"
Kami tertawa. Iya, aku dan Harumi ini sudah sanggup menertawai satu topik di detik pertama kami bertemu. Ruri menatap kami bergantian. Takjub.
Kaget kamu, Ri? Aku lebih dari kaget bisa seluwes ini di depan pacar kamu.
"Enjoy Japan! Hope your days are wonderful here."
"They are, Harumi. I like Japan a lot."
Basa-basi yang tidak kuketahui apa maknanya ini terus saja mengalir seperti takbisa dihentikan.
"Iya, deh. Lanjutin dulu. Have fun, ya!" Ruri tersenyum. Kami bertiga mengulas senyum.
Ruri dan Harumi keluar dari toko. Aku terdiam. Napasku baru terasa berat beberapa detik kemudian.
"Eh, Kar, couple-an gelang, yuk!" Teh Ella menghampiri sambil menunjukkan dua gelang dari emas putih imitasi.
"Iya. Bentar, Teh. Aku ke toilet dulu."
Masih bisa kurasakan napasku tertahan di tenggorokan. Kering rasanya. Kupaksa kakiku berjalan cepat, menuju toilet terdekat. Sesuatu sudah memburu minta ditumpahkan.
"Alasan kenapa gue harus ke sini malam ini, karena gue juga mau bilang sesuatu. Lo berhak tahu bahwa gue cuma bisa jadi teman buat lo, Kar. Cuma itu. Nggak bisa lebih."
Otak sialan ini memutar lagi momen itu. Dengan kurang ajarnya tanpa izin membuat napasku berlomba dengan isak yang tertahan. Kubekap mulutku kuat-kuat supaya suara tak menyenangkan ini tidak sampai lolos dari mulutku. Di balik bilik toilet, aku mengumpat diri sendiri yang sok-sok-an tegar di depan Ruri tadi. Di depan perempuan cantik tadi.