Juna
Balenggang pata pata
Ngana pegoyang pica pica
Ngana pebody poco poco
Cuma ngana yang kita cinta
Cuma ngana yang kita sayang
Cuma ngana suka bikin pusing
Balenggang pata pata
Ngana pegoyang pica pica
Ngana pebody poco poco
Hall Cosmosquare malam ini berdendang diiringi lagu dari Maluku yang sempat viral di tahun 2000-an awal itu, bersama 25 peserta yang tertawa terbahak-bahak alih-alih berlatih Senam Poco-Poco. Penampilan grup yang rencananya ikut mengisi acara farewell party dengan keluarga host family nanti.
Ayaka dan Yusuke yang ikut mencoba di belakang barisan juga tak sanggup menahan tawa karena bingung gerakan yang benar seperti apa. Berulang kali Bu Dahlia, sang ketua grup, memutar ulang video YouTube di laptopnya, dengan niat membantu anggotanya berlatih. Nyatanya, jadi salah satu penyebab tawa makin meledak, karena salah arah gerak. Dari video harusnya ke kanan, tapi ada yang ke kiri, ada yang kanan. Bertabrakan satu sama lain.
Dan, dia. Lengkungan smiley eyes-nya muncul lagi, walau terbingkai frame kacamataku yang membuat wajahnya terlihat sedikit lebih tua dari umurnya.
"Juna-san, ikut dong!" Yusuke menarikku masuk ke barisan. Suasana tegang karena ada pemberitaan tentang Geng TKI tadi di bus, seakan sirna sekejap disapu alunan musik khas senam legend ini. Ditambah meriahnya tawa peserta mampu membuat kami rileks sejenak dari penatnya kegiatan.
🍋
"Ini kacamatanya. Terima kasih banyak." Sekar menyerahkan benda itu. Kami duduk berselonjor kaki sambil bersander di dinding, setelah cukup letih mempelajari gerakan Poco-Poco. Bukan mempelajari sebenarnya, tapi karena ingatan kami sudah hilang entah ke mana, dan tak sedikit yang bahkan tidak tahu senam ini, jadilah kami seperti belajar gerakan dari awal.
Beberapa peserta sudah kembali ke kamar, sebagian lagi masih asyik mengobrol di sini. Hall hotel masih diperbolehkan kami pakai sampai jam sepuluh malam.
"Kamu bakal bawain tari tradisional nanti, kan? Tarian dari mana?" tanyaku.
"Malang. Tari Beskalan Putri namanya."
"Nggak sekalian latihan sekarang?"
Sekar menahan senyum malunya. "Nggak, ah. Biar surprise aja nanti waktu acara."
"Wakatta."121 Aku ikut tersenyum. "Tari Bes ... apa tadi?"
"Beskalan Putri."
"Nah, itu. Tari Beskalan Putri. Ada filosofinya?"
"Ada." Sekar menatapku mantap. Wajahnya sudah jauh lebih segar dibandingkan awal kulihat di bus tadi. "Tari Beskalan Putri awalnya ditampilkan di jalan-jalan, terus jadi bagian pembuka pementasan Ludruk. Juna-san tahu Ludruk?"
Aku menggeleng seraya tersenyum malu.
"Ludruk itu drama tradisional yang menceritakan tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan, legenda. Tapi, bukan drama panggung yang serius, gitu. Ada lawakannya, musik pengiringnya dari gamelan."
Aku tersenyum lagi. Memperhatikan raut wajahnya ketika bersemangat begini, terasa lebih menenangkan. Intonasi bicaranya yang naik-turun mengikuti ritme berceritanya, membuat dia terlihat lebih "hidup". Sekar yang kemarin-kemarin seperti sedang memakai topeng, dan malam ini topengnya dilepas.