Lemon of 10 Days

Shenita Sora
Chapter #33

会うは別れの始め (au wa wakare no hajime) : the meeting is the beginning of parting

Sekar

"Konpeito, permen asli dari Portugal yang masuk ke Jepang pada abad ke-16. Museum Konpeito adalah museum yang dibuka oleh Perusahaan Osaka-Taka untuk memperkenalkan sejarah dan proses pembuatan Konpeito melalui observasi pabrik dan praktik pembuatan". Juna-san kali ini yang bertugas menerjemahkan penjelasan pemandu di museum permen. Gagal sudah usaha untuk menghindar dari kontak mata. Laki-laki tinggi itu didampingi Ayaka-san berdiri di depan, di samping seorang pemandu yang juga akan menemani kami mencoba membuat permen unik itu.

"Permen ini punya bentuk cantik menyerupai bintang kecil dengan beraneka ragam warna. Permen kecil ini diyakini tahan lama hingga 20-30 tahun dalam lingkungan terkendali karena proses pembuatan yang menggunakan suhu sangat tinggi. Dalam acara-acara resepsi keluarga kekaisaran pun, Konpeito kadang dipakai sebagai hadiah tanda terima kasih kepada tamu." Giliran suara Ayaka-san yang terdengar menjelaskan.

Selesai dengan cerita singkat asal-mula si permen. Pemandu museum kemudian mengajak kami masuk ke dapur pembuatan. Mesin-mesin seperti kuali besar yang diletakkan miring menyambut kami. Di situlah permen yang sudah setengah jadi dituangkan. Kuali besar itu berputar untuk mengaduk permen dengan pewarna. Nah, itulah yang kami lakukan. Memberi warna bintang-bintang kecil itu, bukan membuatnya dari proses awal. Jelas karena proses aslinya membutuhkan waktu yang sangat lama serta di suhu tinggi.

"Siapa yang mau coba kasih warnanya? Permennya akan diwarnai oranye, rasa jeruk," ujar Juna-san. Sekilas dia melihat ke arahku, lalu dengan cepat mengedarkan perhatian ke peserta lain.

"Saya!" Teh Ella mengangkat tangan semangat. Sirup pewarna dituangkan sedikit demi sedikit ke dalam mesin yang sudah terisi permen. Warna oranye lembut pelan-pelan menutupi warna asli permen, yaitu putih. Dari penampakannya, kuprediksi si bintang kecil itu tak akan selegit permen di Indonesia.

Setelah beberapa peserta beres mencoba mewarnai permen, masing-masing peserta diberi satu kantung plastik berisi permen yang sudah disiapkan dari awal. Tampilannya setelah dikemas memang sangat menggemaskan. Cantik. Lucu. Warnanya juga terlihat "sehat". Tidak mencolok mata.

Dugaanku terbukti tentang rasanya. Saat mencoba satu butir, rasa manisnya sopan menyapa indera pencecap. Bahkan kalau dimakan dengan jumlah lebih banyak, manisnya bukan jenis manis yang bisa bikin gigi ngilu. Di bagian depan museum, ada semacam replika kios penjual Konpeito. Di sampingngnya terdapat rak-rak berisi Konpeito yang sudah terbungkus dengan ukuran berbeda-beda. Sebagian peserta membeli satu-dua bungkus tambahan.

Di waktu bebas foto-foto itulah, Juna-san mendekat.

"Gimana? Suka?" tanyanya.

"Suka. Manisnya pas." Jangan dikira aku menjawab dengan tenang. Degup jantungku sungguh nyaring, sampai aku khawatir laki-laki di sebelahku ini bisa mendengar.

"Mungkin harusnya ada yang rasa lemon, ya? Jadi bisa ada asemnya sedikit."

Aku menoleh sebentar. "Iya."

"Mau saya fotoin di sini?" Terdengar seperti bukan pertanyaan sebenarnya. Tangannya sudah mengeluarkan ponselnya dari saku mantel.

Tunggu. Ini maksudnya foto pakai ponselnya? Bukan pakai punyaku? USE HIS OWN PHONE, FOR REAL?

"Sekar-san?"

"Okay!" Gugup menyamarkan salah tingkah, malah cara menjawabku yang jadi pakai nada tinggi. Untungnya peserta lain tidak memperhatikan, mereka masih asyik dengan memperbanyak koleksi foro di kamera atau ponsel masing-masing.

Entah berapa foto yang dia ambil, karena rasanya agak lama aku perlu berdiri dengan berbagai pose. Mengangkat bungkusan Konpeito milikku. Menunjuk rak-rak berisi permen. Berdiri di samping kios permen. Sampai foto di area luar museum, di samping bendera bertuliskan Konpeitou Myuujiamu.

"Sip! Bagus semua." Juna-san tersenyum sumringah sembari melihat ke layar ponselnya. Kalau aku mau, bisa saja aku minta benda itu supaya ikut melihat hasil bidikannya. Tapi, ya, gimana? Ya Tuhan, ini gimana sih harusnya?

"Ini." Juna-san menyerahkan ponselnya tanpa ragu. "Mau foto lagi?"

"Eh, nggak. Udah segini aja." Tanganku kaku memegang benda sepribadi itu punya orang yang baru beberapa hari aku kenal.

"Nanti saya kirim lewat Line."

"Iya. Arigatou gozaimasu." Kukembalikan lagi benda itu setelah hati-hati melihat galerinya. Takut ada foto lain yang seharusnya tak kulihat. Tapi ternyata si pemilik biasa saja. Dia menerima ponselnya lagi, lalu memasukkannya ke dalam saku mantelnya seperti tidak merasa canggung sama sekali.

Sebentar. Dia bilang apa tadi? Foto-fotonya mau dikirim lewat Line? LEWAT LINE? Chatting maksudnya?

Lihat selengkapnya