Lemon of 10 Days

Shenita Sora
Chapter #34

冬ごもり(fuyugomori) : winter hibernation

Juna

"Juna-san, sumimasen.124 Boleh bantu menggantikan shift Yusuke-san malam ini? Baru saja dia mengabari ada urusan mendadak, jadi dia harus pulang ke rumahnya."

"Baik. Iya, tidak apa-apa. Saya segera turun ke lobi."

Pintu kamar Sekar sudah sepenuhnya tertutup ketika aku melewatinya lagi menuju lift.

"Jya, oyasumi." Satu-satunya kalimat yang bisa kuucap tadi setelah melepas genggaman tangannya, sebelum berjalan menuju kamar sendiri. Sempat kudengar tadi dia mengetuk pintu kamarnya cepat, dan terjadi percakapan dengan roommate-nya nggak lama setelahnya. Si pemilik suara ceria yang tadi kunikmati percakapannya, hingga membuatku yakin seenggaknya sampai detik ini bahwa aku harus melakukan sesuatu.

Kehilangan seseorang di usia sedemikian muda ternyata menyimpan makna tersendiri. Mungkin memang begitu cara Tuhan agar aku nggak lagi sombong menyia-nyiakan masa yang ada. Dan, bisa jadi begitu pula cara Tuhan karena Dia tahu manusia-Nya yang satu ini butuh waktu panjang untuk bisa mencerna maksud tiap momen. Meskipun untuk sekarang, di tahap awal ini, aku yakin akan ada banyak yang perlu dijelaskan. Sekar berhak tahu. Aku berhak tahu. Kami butuh memahami situasi lebih dari ini. Malam ini biar saja dulu begini jadinya. Aku ingin dia tahu bahwa ada aku di sini. Di dekatnya.

Lobi Cosmosquare sudah mulai sepi. Hanya ada satu-dua orang memesan kamar. Kusandarkan punggung, kuluruskan kaki. Momen shift jaga di lobi begini, membuatku ingat pertama kali obrolan terjadi dengan Sekar. Perempuan berambut pendek sebahu itu tampak seperti kehilangan separuh nyawanya. Berjalan gontai tanpa tenaga. Pertama kalinya aku bisa berbagai permen lemon mint dengan orang yang aku mau. Permen ajaib yang masih suka menyelinap di saku mantel atau saku celana panjangku.

Ah, fotonya. Sial, ternyata aku masih jadi pengecut. Kalau tadi aku bisa jemawa karena mulai menunjukkan atensiku ke perempuan wangi citrus itu, sekarang seolah foto masa kecilnya di genggamanku ini mengolok. Aku nggak lebih dari sekadar laki-laki modal nekat.

Jujur, waktu akhirnya bisa menjaga momen berdua tadi, songongku naik level. Meminjam istilah dari Lasya dulu.

"Ih, ngapain kamu takut sama anak-anak songong belagu kayak mereka? Memangnya kenapa kalau kita blasteran? Awas, aja kalau mereka dateng lagi. Habis, aku gebukin!" Kalimat beruntun dari Lasya itu keluar begitu saja setelah menyelamatkan aku dari anak-anak nakal yang bahkan nggak kami kenal dari mana, tiba-tiba datang, lalu mengatai-ngatai status kewarganegaraanku sambil melempariku dengan kerikil.

Kamu lihat sekarang, Sya. Aku masih jadi pengecut. Cuma perkara fotonya mirip kamu, aku takut mengembalikannya. Takut kehilangan kenangan kamu. Lagi.

Kupejamkan mata. Berharap nggak ada peserta bandel berkeliaran selarut ini, aku butuh waktu tenang. Berharap besok bisa kudapat lagi timing yang pas. Lihat, Sya, aku jadi lebih relijius, ya, sekarang. Doakan aku juga, ya, Sya. Aku mau belajar mengikhlaskan kamu.

🍋

"Ini ... ini foto saya. Kenapa bisa ada di Juna-san?"

"Tolong, dengar saya. Mau itu Lasya atau bukan, yang saya lihat cuma kamu. Sekar-san." Kutatap kedua matanya. Tertangkap ketakutannya di sana. Kalau nggak ingat sekarang masih jam kerjaku, sudah kutarik tangannya supaya tetap berada di posisinya.

"Saya nggak ngerti." Sekar menggeleng pelan. Dia mendorong tubuhnya sedikit menjauh.

"Saya tahu ini rumit. Waktu kita nggak cukup di sini. Tunggu saya dateng untuk ngejelasin semuanya. Oke?" bisikku berusaha meyakinkan. Mencoba tak mengindahkan ekspresi bingung bercampur ketakutannya, aku bangkit dari kursi. Kembali ke setelan pendamping grup. Tepat pukul enam sore, acara orientasi dan perkenalan dengan keluarga host family dimulai. Aku mengambil posisi berdiri di belakang barisan tempat duduk peserta, menyimak sambutan dari Kiritaki-san dan perwakilan keluarga host family. Dari sini, dapat kulihat kedua pundak Sekar masih menegang.

 

🍋

 

Sekar

"Baik-baik, ya." Kiritaki-san menepuk lenganku dan Teh Ella bergantian. Kariya Yoko dan anak perempuannya yang berusia 15 tahun, Kariya Rena, membungkuk memberi salam ke Kiritaki-san sebelum keluar ruangan bersamaku dan Teh Ella.

Juna-san menyambut salam tersebut dengan membungkuk lebih dalam. Diam-diam kuperhatikan wajahnya. Ekspresi formalitas yang dia pasang, dan itu membuatku jengah.

Lihat selengkapnya