Lemon of 10 Days

Shenita Sora
Chapter #35

細雪 (sasame yuki) : snow falls in silence

Sekar

Pagi pertama di rumah Keluarga Kariya. Aku dan Teh Ella membantu Yoko-san memberesi hina ningyou yang menemani kami tidur semalaman.

"Saya jadi seperti punya tambahan dua anak perempuan lagi. Coba kalau kalian datangnya lebih awal, boneka-bonekanya bisa lebih banyak lagi," ujar Yoko-san sambil tertawa.

"Acaranya jadi lebih ramai, ya?" Teh Ella menanggapi.

"Iya. Terima kasih, ya, sudah datang. Saya senang sekali."

Benar kata Madoka-san tentang ibu host family-ku ini. Elegan sekali. Ramah sekali. Sopan sekali. Dan, keibuan sekali.

"Setelah sarapan nanti ikut ke kuil, mau? Saya sama ibu mertua ada rencana berdoa di sana hari ini."

Egg toast, tiga buah stroberi, dan teh hangat jadi menu sarapan kami sebelum beraktivitas di luar. Yang paling membahagiakan adalah stroberi ukuran jumbo yang segar itu dimakan dengan krim manis. Salah satu rasa penasaranku tercentang. Memakan stroberi Jepang yang ternyata memang seenak itu.

"Apa tidak apa-apa hanya sarapan roti dan buah?" tanya Yoko-san di sela kami mengunyah egg toast.

"Daijoubu," jawabku dan Teh Ella berbarengan. Yoko-san tersenyum lebar.

"Maaf, ya. Permintaannya Rena. Nanti siang kita makan di luar saja. Saya punya restoran udon favorit."

Maka, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan? Ini benar-benar masa hibernasi dari kekusutan pikiran tentang Juna-san yang bertabur makanan enak. Kami menyantap sarapan sambil menceritakan masa SD kami.

Hagihara Tenjin, adalah kuil yang kami datangi usai sarapan. Yoko-san dan ibu mertuanya serta Rena dan Daichi beribadah terlebih dahulu. Aku dan Teh Ella menelusuri area kuil. Di dalam kompleks, terdapat kebun bunga ume139. Namun, karena lokasinya agak jauh, kami memutuskan menunggu Yoko-san selesai berdoa. Selesai mereka beribadah, kami disuguhkan pemandangan upacara kelahiran. Rombongan keluarga membawa seorang bayi sedang berdoa khidmat, tepat setelah Yoko-san mundur dari altar doa.

"Wah kebetulan sekali bisa lihat ini. Jadi di Jepang ini agak unik. Kami mayoritas beragama Shinto. Saat kelahiran, kami berdoa untuk keselamatan bayi di kuil Shinto. Ketika menikah, banyak yang menggelar upacara pernikahan di gereja. Nanti saat upacara kematian, kami kembali ke kuil." Sambil menjelaskan begitu Yoko-san sendiri tersenyum malu. "Agak membingungkan, ya? Natal juga kami rayakan, walau sebagian besar bukan karena makna relijiusnya. Kebanyakan orang Jepang senang karena saat Natal kota-kota jadi banyak hiasan bagus dan unik. Toko-toko juga menjual barang limited edition khusus di hari Natal.”

"Banyak dijadikan momen untuk kencan juga, kan, ya?" timpal Teh Ella.

"Iya, betul. Banyak sekali anak muda yang membuat kencan romantis waktu Natal, jadi seperti waktu Valentine." Kali ini Yoko-san tak bisa menahan tawanya.

"Dulu Mama dan Papa juga kencan waktu Natal?" tanya Daichi jail.

"Kenapa? Daichi juga mau?" sahutku tak kalah jail.

Kami tertawa.

"Mau coba omikuji140?" Sang ibu mertua Yoko-san memberi ide menarik. Ketika aku dan Teh Ella bersiap membuka dompet untuk membayar fasilitas tersebut, Yoko-san dengan sigap melarang.

"Biar saya saja. Anggap ibu kalian yang membelikan, ya."

"Ih, kenapa aku jadi mau nangis, ya, Kar? Yoko-san baik banget," bisik Teh Ella.

Aku mengangguk, takut bersuara. Sudah repot menghalau air mata yang menumpuk di ujung pelupuk mata.

Aku dan Teh Ella lalu mengocok sebuah gelas terbuat dari bambu berbentuk segi enam untuk mengambil acak sebuah batang bambu kecil seperti sumpit bertuliskan huruf kanji sebagai simbol ramalan. Setelah masing-masing mendapat sumpit, Yoko-san membantu mencocokkan huruf kanji dengan deretan laci kecil yang juga terdapat huruf kanjinya, mengambilkan kertas omikuji, kemudian membacakan isi ramalan tersebut.

"Untuk Ella-san. Karir atau pendidikan di tahun ini bagus. Kesehatan agak terganggu. Mungkin karena sibuk kuliah, ya?"

"Nasib mahasiswa semester akhir. Kembali ke Indonesia saya langsung sibuk mengerjakan skripsi." Teh Ella mengusap hidungnya sambil nyengir.

"Oh begitu. Jaga kesehatan, ya. Oke, kalau untuk kehidupan romansa tahun ini juga baik. Tahun yang bagus untuk menjalin hubungan serius." Yoko-san melipat omikuji milik Teh Ella dan menyerahkannya. "Kalau isinya bagus seperti ini, omikuji harus disimpan di dompet. Kalau berisi kurang baik, digantung di pohon itu."

Pohon yang ditunjuk Yoko-san adalah pohon pinus besar di tengah area pemisah tempat berdoa dan tempat pengambilan ramalan. Di sana sudah banyak kertas-kertas omikuji yang digantung. Segitu banyak ramalan buruk semua? Kok jadi ngeri?

Giliran omikuji-ku dibuka Yoko-san. Tidak langsung dibacakan, wanita cantik itu malah melirikku dengan senyum penuh arti.

Semoga bukan ramalan buruk. Biar pun ini kepercayaan mereka, aku juga tidak mau punya pengalaman menggantungkan omikuji di kuil.

"Untuk Sekar-san. Karir atau pendidikan lancar. Kesehatan juga bagus."

Lihat selengkapnya