Sekar
"Sejak kapan Yoshihiko-san dateng, Teh?" tanyaku berbisik.
"Kita sampai di rumah, beliau udah di ruang makan," jawab Teh Ella bisik-bisik juga. "Jadi kamu tadi ngapain aja sama Juna-san?"
"Pertanyaannya nggak bisa dibikin biasa aja gitu?"
Kami tergelak.
"Mencurigakan." Teh Ella memicingkan kedua matanya. "Hayooo."
"Apa, ya, Teteeeh. Udah yuk kita kasih oleh-olehnya ke mereka."
Malam terakhir menginap di Keluarga Kariya, sekaligus jadi hari terakhir kami semua menuntaskan kegiatan inti dari program exchange ini. Dan, di malam terakhir menginap ini juga jadi pengalaman pertamaku melihat salju turun. Pertama kalinya pula aku menyaksikan seorang laki-laki berani menumpahkan kesedihannya seperti yang dilakukan Juna-san tadi.
Berat sekali bisa sampai di malam ini. Sungguh berat meninggalkan semuanya. Teramat berat menyadari kenyataan bahwa tinggal sebentar pula waktu yang ada bagiku menunjukkan perasaanku terhadap Juna-san.
"Kar, udah?" tanya Teh Ella lembut. Dia tahu roommate-nya ini mellow lagi.
"Udah, Teh. Yuk!"
Yoko-san dan Yoshihiko-san antusias dengan berbagai benda dan makanan khas yang aku dan Teh Ella berikan. Dua pasang sumpit hias dengan ornamen wayang. Bookmark dari bahan pembuat wayang kulit. Kipas lipat bermotif batik. Hiasan kulkas berbagai bentuk khas Indonesia, seperti bentuk miniatur Borobudur, Monas, dan Rumah Gadang. Permen kopi yang langsung dipeluk Daichi sebagai tanda kepemilikan. Snack Indonesia yang jadi bahan rebutan Rena dan sang adik, seperti kripik kentang, kripik talas, kripik ubi, kripik singkong, dan krupuk udang. Sementara kopi bubuk dan jahe bubuk yang tidak menarik perhatian kedua anaknya diamankan Yoko-san. Jadilah malam itu kami makan malam dengan menu japanese curry, tempura, dan jahe hangat. Kopi bubuknya sudah dipesan Yoshihiko-san jadi pendamping sarapannya besok pagi.
Keluarga Kariya pun menyiapkan kenang-kenangan untukku dan Teh Ella. Dompet kecil tempat koin, hiasan kaca seperti permen jeli berbentuk sakura, teh hijau bubuk, mangkuk, dan sumpit.
"Untuk Sekar-san, saya juga pilihkan yang lemon tea bubuk," ujar Yoko-san tersenyum lebar. Satu bungkus teh bubuk ditambahkan lagi ke kantung oleh-olehku. Andai waktu bisa kuhentikan sebentar, ingin sekali kutumpahkan rasa haruku ini. Baru dua malam bersama, tapi ibu host family-ku ini sudah tahu yang jadi kesukaanku.
Selesai makan, Yoko-san membantu aku dan Teh Ella bertransformasi mengenakan kimono. Berfoto bersama. Segala pose. Setiap sudut rumahnya yang cantik jadi background foto-foto kami.
Makan malam yang enak. Obrolan yang hangat. Kenangan yang manis. Semuanya makin membuatku ingin menghentikan waktu sebentar saja. Tidak rela rasanya waktu cepat bergeser ke keesokan harinya.
🍋
"Ohayou gozaimasu." Sebuah suara terdengar dari balik pintu geser ruang tatami yang sudah jadi kamar tidurku selama dua malam ini.
"Madoka-san? Ohayou gozaimasu."
Sahabat Yoko-san itu memamerkan lesung pipitnya menyambut salamku.
"Good morning, Ella-san," sapanya juga ke Teh Ella yang ikut menoleh ke arah pintu ketika sedang merapikan rambutnya tadi.
"Madoka-san, good morning."
"Lucunya? Anak Madoka-san?" tanyaku setelah seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun malu-malu masuk ke dalam ruangan. Rambutnya dikuncir dua, berponi di atas alis, berwajah bulat, dan kedua pipinya merah.
"Iya." Madoka-san tersenyum lebar, kemudian memegang pundak anak perempuan menggemaskan itu. "Ayo, perkenalkan dirimu."
"Ohayou gozaimasu. Hajimemashite. Watashi wa Yuki desu. Yoroshiku onegaishimasu." Badan mungilnya membungkuk hormat. Aku dan Teh Ella tertawa gemas. Lalu membalas dengan menyebut nama kami masing-masing.
"Yuki-chan juga punya sesuatu buat onee-san." Madoka-san menyerahkan dua benda kepadaku dan Teh Ella. Satu berupa handuk kecil bermotif Hello Kitty yang dikemas menyerupai irisan sushi roll. Satu lagi berupa kerajinan tangan tatakan gelas berbentuk love.
"Sudah siap?" Yoko-san muncul dari dapur. Rena dan Daichi juga ikut masuk ke ruangan.