Sekar
Sarapan Terakhir di Tokyo Tahun Ini. Judul momen hidup yang kucamkan ke kepalaku sejak bangun tidur tadi. Garis bawahi kata 'tahun ini'-nya, karena itu mengandung makna akan ada tahun-tahun lainnya yang membuatku menikmati sarapan di Tokyo. Afirmasi positif yang terus kupegang supaya ke-mellow-anku hari ini tidak makin menjadi-jadi.
"Udah, Kar? Cek lagi barang-barangmu. Tumbler-mu yang paling penting. Repot kalau mamamu nyuruh kita balik ke sini buat nyari Tupperware-nya."
Aku terbahak. Teh Ella berkata tadi sambil santai merapikan tali mantelnya.
"Udah, Teh. Aman. Kalau pun disuruh balik ke sini, akan kulakukan dengan senang hati."
"Iyaaa. Percaya yang udah punya pawang orang Jepang."
"Iri, yaaa?"
Tawa yang mengiringiku dan Teh Ella keluar kamar menuju restoran hotel tadi, langsung sirna begitu kami duduk di meja makan. Tampaknya usaha menenangkan diri memang perlu di-support oleh lingkungan. Kalau di sekitarku pada diam seribu bahasa begini, menatap piring masing-masing tanpa bersuara atau celotehan jokes garing, apa gunanya hipnotis mandiriku tadi? Bahkan Teh Ella yang di kamar tadi masih bisa mengungkit masalah Tupperware punya Ibu, sekarang ikut-ikutan mogok ngomong.
"Nanti reuni grup Osaka di Sakai aja kali, ya?" Damar tiba-tiba bersuara. Semua kepala menoleh.
"Nah! Ide bagus. Kiritaki-san nanti ikut juga, jangan lupa Juna-san. Ayaka-san, Yusuke-san juga kudu wajib dateng."
"Balik ke Taman Daisen nggak, sih? Kita ikutin prosesi chanoyu yang sesungguhnya. Empat jam!"
"Pas spring aja, sekalian hanami kita!"
Aku bersyukur ada manusia seperti Damar di grupku. Penyelamat masa sunyi-senyap tadi. Suasana mulai mencair sampai kami bersiap naik ke dalam bus. Fakta jarak dari hotel ke bandara hanya 1 km, kembali membuat kami membisu. Keluar dari bus, hawa dingin yang makin menggigit menyambut kami.
Menapak di crub, seolah membawaku kembali ke saat pertama kali menyentuh daratan Jepang. Dengan segala bayangan aneh seakan aku pernah ke Narita sebelumnya, yang saat itu kuanggap efek jetlag parah, lalu bertemu Ruri untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, menerima hadiah-hadiah dari dia, mendengar suaranya lagi, melihat wajahnya lagi. Aku tersenyum. Saat itu aku sama sekali tidak punya persiapan bakal seperti ini jadinya kisah kami berdua. Siapa yang tahu kalau status pertemanan kami memang tidak akan pernah berganti ke status apa pun.
"Gue balik besok, Ri." Semalam aku beranikan diri menelepon dia.
"Cepet banget programnya. Kirain bakal satu semester atau minimal sebulan."
Aku tertawa. "Maunya juga gitu, sih. Doain aja gue bisa ambil S2 di sini."
"Wah! Serius? Lo bakal ke sini buat S2?"
"Itu masih rencana. Kalau gue yang ditanya, ya, pasti mau."
"Usahain lah. Mana Sekar yang suka ngotot yang gue kenal?"
Aku tertawa lagi. Yang kamu inget aku versi bar-bar ya, Ri?
"Doain, ya."
"Pasti."
Dan, telepon bertema pamitan itu berakhir dengan damai. Perang batinku juga berangsur selesai. Bohong kalau aku bilang kehadiran Juna-san tidak memberi kontribusi. Justru sepertinya dialah faktor utama aku bisa menertawai kebodohanku mengejar Ruri padahal kesempatan yang kudapat selama di Jepang ini adalah impian banyak peserta yang tidak lolos seleksi kemarin.
Sedikit-banyak kemunculan bayangan aneh selama aku di sini juga membantu kedekatanku dengan Juna-san. Kalau Lasya tidak pernah "muncul" berupa suara-suara dan bayangan-bayangan itu, intensitas interaksiku dengan Juna-san juga tidak mungkin menjadikan kami seperti sekarang.
"Mau foto-foto di sini lagi?" Itu dia. Si anime hidup itu sekarang menjelma menjadi sosok yang paling hangat di sini.
"Boleh."
Dia mengeluarkan ponselnya, kemudian mengaktifkan fitur kamera depan. Lengannya melingkar ke pundakku. Terciptalah foto selfie dengan ekspresi tak siapku.