Sekar
"Yaaan! Harus banget ya, Hokkaido? Emang nggak bisa di Tokyo aja?"
"Duh, repot lo, ya! Pilih LDR Indonesia-Jepang, atau Tokyo-Hokkaido? Udah dikasih kesempatan bagus, adaaa aja komplainnya."
"Ya, maksud gue kan udah nih, udah LDR Indonesia-Jepang setahun. Buka puasanya dibikin di satu kota, gitu, kan enak."
"Buka puasa, buka puasa. Arek gemblung! Kalau nggak mau, kasih gue sini LoA159-nya."
"Ih!"
"Maaf, Mbak, bisa diem dulu, nggak? Ini bulu matanya nggak lengket-lengket, kalau mbaknya gerak terus."
Kekisruhan sebelum acara wisuda di kamar kost Yana telah berlangsung sejak satu jam yang lalu. MUA yang datang pun ikut ngedumel gara-gara dua sahabat ini tengah saling menunjukkan love language-nya, yaitu baku hantam.
"Lagian seru kan, kalau ketemuannya di Hokkaido. Dingin-dingin gimana gitu. Buka puasa, buka puasa deh lo sana." Yana mengerjap-ngerjap setelah soft lense-nya terpasang.
"Heh! Gila betulan!"
"Eh, tapi bokap gimana? Terakhir kayaknya masih alot, kan?" Yana menggulir ke topik yang lebih serius.
Jalan takdir setelah program JENESYS selesai, ternyata tidak selempeng yang kukira. Sekitar dua bulan setelah kembali sibuk kuliah, Shinobu Hasegawa, salah satu profesor dari Universitas Hokkaido melakukan kunjungan ke kampus. Fakultas Humaniora jadi salah satu tempat yang beliau datangi. Entah berbicara apa saja dengan Pak Jumaidi, dekan fakultasku itu memanggilku hari itu juga ke pertemuan antar dosen tersebut. Segalanya seperti semudah membuat mie instan, ketika aku sudah menjalani serangkaian proses dan akhirnya mengantongi surat rekomendasi Hasegawa-san sebagai salah satu persyaratan program beasiswa di kampusnya.
"Sudah dapet LoA-nya? Omedetou!" Juna-san memamerkan senyum lebarnya waktu kuhubungi via video call setelah prosesnya selesai.
"Tapi Hokkaido lho ini."
"Iya, terus?"
"Iya, Hokkaido. Ho-kkai-do. Jauh ituuu."
Laki-laki itu tertawa. "Jauh dari mana? Dari Jakarta? Iya, jauh."
"Dari Tokyo! Astaga!" Aku mulai ngedumel.
"Nggak jauh itu, Sayang. Kan aku bisa ke sana kalau ambil cuti."
Intinya, Juna-san—aku masih suka menyebut dia dengan embel-embel -san kalau sedang di depan orang lain—senang mendapat kabar kesempatan untuk S2 bisa kuperoleh lebih cepat dari perkiraan. Berbeda dengan reaksi Bapak. Kalau dulu untuk program JENESYS, Ibu yang keukeuh tidak menurunkan izinnya hingga di detik-detik terakhir. Sekarang ngadatnya di Bapak, bahkan saat masih jadi pembicaraan awal dengan Pak Jumaidi dan Shinobu Hasegawa-san di fakultas.
"Nggak mau yang di dalam negeri aja, Kar? Kemarin kan udah ke Jepangnya."
"Bapak," panggilku mencoba melunak. Hari itu aku pulang sebentar karena perlu menjelaskan hasil pembicaraan lanjutan dengan Pak Jumaidi dan Shinobu Hasegawa-san. "Bapak kan tahu aku suka banget sama Jepang. Sekarang aku dikasih kesempatan dengan cara semudah ini, masa ditolak?"
"Bukan, bukan ditolak. Tapi, diganti sama yang di dalam negeri."
"Ya, sama aja itu namanya." Ibu ikut menimpali. "Bapakmu ini takut nggak bisa ngunjungin kamu, atau kamunya yang nggak bisa pulang ke Jakarta sewaktu-waktu."
Kalau dulu Bapak menyimpan rahasia kerisauan hati Ibu tentang alasan beliau tak kunjung mengizinkanku mendaftar JENESYS, sekarang Ibu dengan gampangnya membongkar keresahan suaminya itu.
"Padahal yang namanya sekolah itu, ya, yang dicari kesempatannya. Kalau ada yang lebih bagus dan sudah tinggal menjalani, kenapa cari yang lain, kan?" Ibu berusaha memberi pandangan lain. "Hitung-hitung biar Sekar mandiri. Malu sama Juna. Dia yang cowok aja bisa masak. Sekar yang cewek, goreng tempe aja gosong."
Sungguh. Ibu bukan orang yang mau rela menutupi aib anggota keluarganya di depan anggota keluarganya itu sendiri.
Bapak-Ibu sudah kenal Juna-san, laki-laki itu sudah pernah ke Jakarta sewaktu aku libur semester tahun kemarin, beberapa bulan setelah berakhirnya program. Sejauh ini komunikasi mereka lancar-lancar saja, dan itu kuanggap lampu hijau dari kedua orangtuaku ini.
Masalahnya sekarang ada di urusan S2. Sampai hari-H wisudaku dan sudah resmi mendapat LoA ini, Bapak masih enggan mengungkit soal beasiswa ke kampus prefektur terdingin di Jepang itu.
"Iya, Yan. Doain, ya. Biar Bapak luluh."
"Aamiiin."
Dua puluh menit kemudian, pertatariasan itu pun selesai. Hari ini, selain perkara restu S2 yang masih terganjal, aku juga punya spaneng lainnya. Juna-san tidak bisa datang.
Sebelum turun ke halaman kost, tempat Bapak dan Ibu sudah menunggu bersama orangtua Yana, aku mencoba menelepon si anime hidup itu.
"Maaf, telepon aja, kan? Jangan video call dulu, ya. Lagi hectic banget di kantor. Nggak enak dilihatin orang."
"Iya." Aku mengatur napas, sebelum merengek lagi. "Ini serius kamu nggak bisa dateng?"
"Gomen. Kalau ada Pintu Ke Mana Saja-nya Doraemon, boleh deh aku mampir ke situ bentar, terus balik ke kantor lagi."
"Nggak lucu."
"Yang lagi ngelucu, siapa. Aku serius ini."
"Juna-san!"
Selain masih menyebut panggilan itu di depan orang lain, aku juga akan memanggilnya dengan sebutan itu kalau sedang marah begini. Dan, dia tahu. Ada jeda beberapa detik. Dia tidak terdengar bersuara.
"Sesibuk itu, ya?" tanyaku pasrah. Akhirnya.
"Iya. Maaf, ya. Sama seperti persiapan batch kamu. Kudu ngecek ini-itu. Kelengkapan fasilitas di prefektur masing-masing. Kesiapan pendamping grup di prefektur. Akomodasi. Jawabin pertanyaan di email atau di website. Banyak."
"Oh? Yang jawabin pertanyaan di website kamu juga?" tanyaku teringat sesuatu.