Lemon

Dinasaurus
Chapter #1

3 - Hancurnya Cinta Pertama^2

Ana keluar, mengendarai scoopy navy-nya. Cewek itu menuju sebuah alamat yang diduga menjadi rumah kedua sang Papa.

Dengan kecepatan yang lumayan tinggi, Ana tidak takut sama sekali jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Hatinya teramat sakit hingga rasanya sudah tidak ada ketakutan kepada hal-hal yang bisa saja bahaya. Hidupnya terasa amat pelik sekarang.

Ana berhenti di sebuah kompleks rumah. Matanya langsung memanas begitu melihat Dion, Papanya sedang bercanda dengan anak perempuan yang terlihat berusia empat tahun.

Kaki Ana ingin melangkah dan dirinya sangat ingin berteriak di hadapan Papanya. Berani-beraninya laki-laki itu menghancurkan hati Mamanya, berani-beraninya laki-laki itu mematahkan cinta pertama seorang anak perempuan kepadanya.

Namun Ana tidak sanggup melangkahkan kakinya, dia hanya berdiri dari kejauhan dengan tubuh yang bergetar, dengan hati yang hancur lebur.

Tanpa terasa, cewek itu mengepalkan tangannyaa sangat kuat hingga telapak tangannya terluka akibat kukunya yang panjang.

Ana mengendarai motornya, keluar kompleks itu dan menuju halte terdekat, ia belum siap pulang saat ini, rasanya ia ingin lenyap saja dari dunia ini. Tidak sanggup melihat kondisi sang Mama di rumah yang hatinya tentu saja amat patah.

Ana menangis tersedu di halte itu, tidak peduli banyak pasang mata yang melihatnya, yang ia tahu, hatinya amat hancur dan perih.

Satu-satunya orang yang ada di pikirannya saat ini adalah Satria. 

Satria?

Ana mengirim pesan pada Satria.

satu menit, lima menit, sepuluh menit, tidak ada balasan.

Ana kembali menangis, di saat dirinya teramat sedih seperti ini, Satria tidak membalas pesannya. Padahal, dirinya sangat perlu pundak untuk bersandar, sangat perlu orang untuk meluapkan kesedihannya.

Kenapa An? Gue di kampus nih, ada rapat dadakan.

Melihat balasan Satria semakin membuat Ana tidak bersemangat. Ini sekitar pukul delapan malam, dan Satria sudah di kampus saja untuk rapat dadakan. Mengetahui itu saja, sudah membuat Ana tidak berniat membalas lagi pesan dari Satria itu.

Tanpa terasa, ponsel cewek itu dibasahi air matanya yang jatuh perlahan.

"Segitu sedihnya, ya?"

Ana terperanjat, matanya mengarah pada sumber suara, seorang cowok dengan gelagatnya yang dingin sudah duduk di sampingnya. Aroma rokok yang ia benci menyeruak dari tubuh cowok itu.

Andrian?

"Kata orang kalau bertemu tidak sengaja sebanyak tiga kali, itu berarti ada takdir yang mengikat kita," tukas cowok itu yang semakin membuat Ana merasa kesal.

Masih dengan suaranya yang parau, Ana mencoba berbicara. "Lo, ngikutin gue, ya?!"

Andrian terkekeh, tawa tipisnya benar-benar membuat Ana merasa kesal. Ia menyeka rambutnya yang agak sedikit gondrong. "Sepertinya takdir yang ngikutin kita," ujarnya lagi. Tampangnya amat dingin, tapi bisa-bisanya kata-kata seperti itu yang ia keluarkan.

"Gue nggak ada waktu melayani gombalan-gombalan murah lo," tukas Ana yang memang benar-benar kesal.

"Terus, waktu lo sekarang mau nangis?"

Ana mengusap kedua pipinya, "Nggak," ujarnya singkat. Berbohong.

"Kalau sedih, nangis aja, semesta perlu tahu, kalau lo juga manusia normal yang bisa nangis kalau sedih."

Sial, kata-kata Andrian membuat mata Ana semakin perih. Matanya semakin memanas.

"Gue nggak tahu apa yang bikin lo sedih, dan gue nggak mau tahu karena itu mungkin privasi lo, nangis aja sepuasnya, gue temenin, nanti gue bakal pura-pura lupa kalau udah liat lo nangis."

Lantas saja, Ana langsung kembali tersedu, tidak tahan dengan pahitnya kekecewaan itu. Ana mengingat seorang anak perempuan tadi yang terlihat berumur empat atau lima tahun, itu artinya, selama itu juga Dion berselingkuh, Papanya mengkhianati Mamanya yang kini pasti sedang meringkuk di kamar, meratapi kekecewaan yang mendalam, meratapi retakan di setiap sudut hatinya.

Lihat selengkapnya