Lemonade

Jessica Sirena
Chapter #2

Jadi Murid Baru

Salah satu hal yang paling menakutkan adalah ...

... menjadi orang baru di antara suatu kelompok.

.

.

.

Di antara dinding lorong dan keramik yang kuinjak, ada satu yang lebih besar suaranya ketimbang suara langkah kakiku yang sedang memakai sepatu pantofel. Ia adalah suara detak jantungku. Iya, bagi orang lain suara deguban ini memang sama sekali tidak terdengar, akan tetapi anehnya telingaku malah seolah kebisingan. Aku begitu gugup!

Sementara aku berjalan agak pelan, seseorang yang kuekori berjalan lebih cepat di depan. Aku—jujur—sudah lupa namanya karena aku memang orang yang pelupa. Namun jelas kutahu bahwa dia adalah seorang wanita, sama sepertiku. Lagi pula ia memakai rok.

Ia sedang menjalankan misi yang tadi diberikan Bapak Kepala Sekolah padanya; mengantarku sampai ke kelas baruku.

Tidak lama kemudian, ia berbelok. Melewati satu buah pintu berwarna cokelat gelap, lalu berhenti di depan pintu berikutnya.

“Nak Jesika, ini kelas kamu. Masuk sendiri, ya,” ucapnya lembut sembari tersenyum. Tidak ada sama sekali yang kulakukan selain membalas senyum manisnya dengan senyum canggungku yang hambar sebelum akhirnya wanita cantik itu pergi dengan sendirinya.

Diam. Aku hanya mematung di sini. Pintu yang sudah sewajarnya kubuka itu kini tetap menjadi objek yang terus kupandangi. Sama sekali tak menarik, sumpah! Hanya saja, sampai di sini jantungku malah kian berdebam.

Kutelan ludahku susah-susah. Seperti kata Mama, kalau aku merasa gugup, aku hanya perlu menelan ludah dan menarik napas panjang. Jadi, aku melakukan tipsnya yang ke-dua. Sampai akhirnya setelah embusan napas yang ke-tujuh, aku mulai mengangkat kepalan tanganku yang sudah membeku dan gemetaran.

Tok tok tok

Pelan sekali kuketuk daun kayu itu. Kedua mataku spontan terpejam dan aku—entah kenapa—malah menunduk ketakutan. Pikiran-pikiranku terus berkecamuk. Ucapan-ucapan dari obrolan teman-teman di sekolah lamaku terus berputar tanpa kuminta.

‘Jadi anak baru itu enggak enak, loh. Orang yang awalnya ceria dan cerewet bisa otomatis kicep kalo dapet temen yang gak cocok.’

‘Pasti nanti jadi objek buli, deh.’

‘Duh, kasihan ya kamu.’

‘Udah, enggak usah pindah. Nanti yang ada kamu malah enggak punya temen.’

Entah seharusnya kusebut apa teman-teman baikku di SMA yang lalu. Bukannya menyemangatiku supaya tidak takut, mereka malah menjatuhkan mentalku. Iya, sih, mereka bukannya satu-satunya penyebab ketakutanku. Aku yang memang terlahir dengan sifat pemikir berlebih ini pun jadi alasan utamanya.

“Silakan masuk.”

Kudengar suara lirih dari dalam kelas. Suara bapak-bapak. Pasti beliaulah wali kelasku yang baru. Aku menepuk wajah, mencoba mengubah ekspresi wajahku supaya tidak terlalu kentara kalau aku sedang tidak baik-baik saja.

“S-selamat pagi,” sapaku saat membuka pintu.

Lihat selengkapnya