Saat-saat terindah
Saat-saat bersama mereka
.
.
.
Kehidupan sekolahku memang tidak menyeramkan.
Namun menyebalkan!
Baru seminggu bersekolah aku sudah memiliki beberapa orang yang sepertinya tidak begitu menyukaiku. Mereka adalah Ninin, Ririn dan Yeni. Sebenarnya agak kepedean juga kalau langsung berasumsi seperti itu ketika mereka bahkan hanya menatapku dengan pandangan tidak suka.
Bisa saja kan wajah mereka memang aslinya jutek seperti itu?
Atau misalnya mereka memang sama-sama sedang sakit perut, jadi itu berefek pada wajah mereka yang sinis.
Namun begitu aku tetap bahagia. Aku punya teman baru selain Ega. Namanya, Selvi dan Nia. Mereka berdua orang yang sama-sama baik dan ceria. Ah, seharusnya kusebut mereka bertiga!
Mereka dengan baiknya mengajakku untuk masuk ke dalam lingkaran pertemanan mereka. Aku jelas langsung setuju. Apalagi dengan mimik muka lucu, Selvi, si cewek gempal yang imut, bilang bahwa grup mereka memang sedang membutuhkan orang.
Omong-omong soal grup, aku jadi teringat dengan grup-grup cewek yang ada di sekolah lamaku. Kebanyakan mereka yang suka membuat geng seperti itu adalah mereka yang merasa berkuasa atau cantik. Di sini pun sama.
Namun aku agak merasa lucu dengan grup kami berempat. Dibilang grup cewek-cewek berkuasa? Tidak. Dibilang grup cewek-cewek cantik? Um ... kurasa juga tidak. Dibilang grup cewek-cewek populer? Hell, no! Dibilang grup cewek-cewek pintar? Kurasa sama sekali tidak mungkin. Aku ini lumayan bebal, apalagi soal hitungan, dan mereka bertiga bahkan mengatakan sama sekali belum pernah menyentuh angka sepuluh besar juara kelas.
Huh, jadi kita ini grup apa, dong?
“Gimana kalo kita bikin nama grup aja?” Nia tiba-tiba memberi usul di saat kami tengah sibuk mengerjakan tugas menggambar pemandangan di buku gambar masing-masing. Gadis berkerudung itu melebarkan matanya yang cantik, tersenyum cerah ke arah kami yang sedang berkonsentrasi membuat garis lurus tanpa penggaris.
“Eng-gak-pen-ting,” cuek Selvi.
Bibir Nia cemberut. Dia lantas menusuk-nusuk kecil pipi gemuk cewek di sampingnya itu dengan ujung jari telunjuknya yang lancip bagai duri. Aku yang duduk di depannya pun jadi ikut-ikutan melakukannya. Habisnya, pipi Selvi imut, sih.
“Duh, sakit tau, guys!” tepis Selvi.
“Btw, aku setuju loh, kalo kita bikin nama grup,” ujar Ega di sela-sela usahanya mengarsir gambar gunung yang menurutku agak tidak serupa dengan gunung-gunung asli. “Aku usul nama ‘The Eganism’ sebagai nama grup.”
Aku, Selvi dan Nia pun saling berpandangan. The Eganism? Apaan tuh?
“Nggak usah ngaco,” kata Selvi. “Mending namanya ‘The Selviness’ aja.”
“Sel, sama aja, Sel,” Nia menarik kepangan panjang Selvi.
Aku masih agak malu-malu, namun juga antusias. Jadi, pelan-pelan aku berdeham untuk menarik atensi mereka dan berhasil. “Gimana kalo inisial nama kita aja?” kataku.
Kulihat mereka tampak diam, lalu saling berpandangan. Sementara itu, teman-teman di sekitar kami masih juga sangat ramai. Kuyakin sebagian dari mereka bahkan tidak mengerjakan tugas karena Pak Joni, guru seni dan budaya, sedang tidak ada.
“Aku setuju!” kata Ega.
“Aku juga!” sahut Selvi.
“Em—“
“Oke, fix ya kita pake inisial nama buat nama grup,” Ega dengan cueknya memotong suara Nia.
Aku terkekeh pelan. “Yaudah, kalo gitu nyusun inisialnya gimana?” tanyaku.
Kami semua jadi berpikir. Namun ini cukup menyenangkan meskipun apa yang sedang kami pikirkan bukanlah hal penting dan berarti.
“Gimana kalo JESN?” kataku memberi usul. “Nanti dibacanya ‘jesen’.”
Alis Selvi yang tidak terlalu panjang itu saling bertaut. Jujur, kalau seperti itu, wajahnya jadi benar-benar menyebalkan. “JESN?”
“Iya, Jesika, Ega, Selvi, Nia.”
“Kok nama aku ada di belakang, sih?” Nia mulai protes.
“A—“
“Oke, aku setuju,” kata Selvi memotong suaraku. “Jadi fix ya nama kita JESN.”