Hidup hanya sekali saja
Jika kau tak mau menghargainya
Pergi dan mati saja
<><><><>
Hari ini terasa lebih dingin dari biasanya. Sosok cowok yang menggunakan jaket berwarna hitam itu perlahan menyusuri jalan setapak. Ia cukup pagi untuk berangkat sekolah pada hari ini. Ia tidak mau terlambat atau tergesa-gesa, itu tak baik baginya. Deru napasnya terdengar, ia butuh waktu dan cukup melelahkan untuk sampai di tempat yang biasanya ia menunggu angkot.
Sepi, hanya dirinya saja menunggu angkot di pagi ini. Kemungkinan tak lama akan datang seorang wanita yang hendak pergi ke pasar, atau beberapa anak kecil yang menaiki angkot juga.
Cukup lama ia menunggu, perlu mengecek jam kecil di tangannya untuk memastikan ia tidak akan terlambat.
Dari arah berlawanan angkot datang, terlihat tak ada siapa pun di dalam angkot tersebut. Sopir angkot tersenyum padanya dan ia hanya balas dengan seringai kecil. Perlahan ia masuk ke angkot tersebut, ia menghela napas lega. Melelahkan juga, andai dia bisa menaiki motor seperti teman-temannya.
“Ke mana Dek?” tanya sopir angkot tersebut.
“SMA Lazuardi,” ujarnya. Si sopir angkot mengangguk dan menjalankan angkotnya.
Jalan raya masih terlihat sepi, matahari juga belum muncul sepenuhnya. Cowok itu membuka jendela angkot agar bisa merasakan terpaan angin pagi, menyejukkan. Manik matanya yang hitam tak terlepas menatap seorang anak yang tengah berjualan di jalan raya, anak itu menawarkan kerupuk yang tidak salah seharga 3000 rupiah.
Terlintas sesaat di benak cowok itu. Hidup itu tidak bisa ditebak, terlalu banyak kata tidak adil namun harus di syukuri. Ada seorang anak yang mungkin kini sedang menonton acara kesukaannya sebelum berangkat sekolah dan ada anak yang sudah berjualan demi menyambung kehidupan.
“Lelah juga jika dipikirkan.”
“Iya, Dek, ngomong apa?” tanya sopir angkot itu mendengar gumaman si cowok.
“Tidak, saya tidak bilang apa-apa.”
“Dek, kamu gak di antar gitu ke sekolah kayaknya kesusahan kalau tiap hari naik angkot.”
Cowok itu tersenyum tipis. “Mau gimana lagi, cuma angkot ini saja yang bisa membawa saya ke sekolah.” Ia tidak malu, sudah kenyataan jika ia tidak bisa menggunakan mobil seperti orang-orang lakukan.
Lagi pula dengan menggunakan angkot bukankah membantu perekonomian mereka yang bekerja sebagai sopir angkot.
“Ohh, hati-hati Dek kalau begitu.”
Cowok itu mengangguk, ia memberikan uang angkot. Menggendong tasnya dan perlahan turun dari angkot.
“Makasih, Bang!”
Ia sampai di sebuah sekolah yang besar. Helaan napas terdengar kembali. Ia harus berjuang, tidak apa hanya tinggal satu tahu setengah lagi. Tidak masalah, ia bisa, ia kuat. Perlahan ia melangkahkan kakinya.
“Lo kuat, Kala.”
Kala Manggala Ganendra, nama sosok cowok yang kini menginjakkan kaki di SMA Lazuardi kelas 11 IPA. Kala memiliki tinggi yang lumayan, wajahnya cukup tampan, rambutnya acak-acakan dan sudah agak panjang namun tidak sampai harus dipotong oleh guru BK.
<><><><>
Pelajaran hari cukup melelahkan. Sejak pagi adalah pelajaran berat bagaimana tidak, matematika, disusul biologi, kimia. Pelajaran kimia yang menjadi titik lelah hari ini, guru yang tiba-tiba memberikan pre-test pada siswanya yang tidak ingat sama sekali di pelajaran kemarin.
Tentu saja tidak semua, Kala hang notabenenya cerdas karena anak cerdas cermat juga. Ia sudah tahu sifat dati guru kimia mereka ini, rasanya satu kelas tahu bagaimana sifat guru mereka. Guru yang tidak akan memberitahu kapan ulangan diadakan, yang terpenting ingat. Sebuah bab selesai maka ulangan akan dekat.
Kala menghela napas, diberikan waktu sepuluh menit sebelum pre-test dilakukan, semuanya sibuk membaca entah benar-benar dibaca atau tidak. Perlu diketahui, jika Kala bukanlah sosok cowok yang genius sejak lahir, seperti tidak ikut pelajaran namun selalu bisa peringkat pertama.
Hidupnya bukan seperti novel-novel fiksi. Khayalan para penulis tentang badboy genius, si anak CEO atau anak ketua yayasan yang semena-mena.
Hidupnya terlalu menyedihkan untuk menjadi novel yang dikagumi banyak pembaca. Dikagumi setan, iya kali?
Kala harus belajar, ia tidak hanya fokus pada membantu ibunya di toko namun juga belajar agar bisa mencapai mimpinya. Klise sekali bukan? Kala tidak pernah memikirkan apapun selain belajar dan membantu orang tua. Ia tahu hidup hanya sekali namun ia tidak juga berandai-andai menjadi sosok yang hidupnya sempurna.
Keliling dunia, menjadi aktor atau seorang sastrawan.