Semuanya sudah diciptakan dengan porsi masing-masing
Jika ada yang berbeda
Itu artinya kamu istimewa
<><><><>
Gadis berambut hitam panjang itu terbangun karena suara deringan jam. Menunjukkan pukul enam kurang. Ia melirik ke arah sekeliling dengan tatapan sendu. Helaan napas terdengar. Ia turun dari kasurnya, mengenakan sandal rumahan yang berwarna merah muda. Ia berjalan ke arah lemari untuk mengambil handuk.
Sesaat ia menatap pada pajang foto-foto. Terlihat banyak dan indah dengan bingkau yang berwarna, manik matanya berfous pada satu foto yang memperlihatkan seorang gadis kecil yang tengah mengenakan gaun ulang tahun, di sisi gadis itu ada dua orang dewasa yang sama terlihat bahagia seperti si gadis berulang tahun.
“Kok lo bisa tersenyum sebahagia itu sih?” ujarnya seolah ia menyindir gadis kecil di foto yang ternyata adalah dirinya sewaktu kecil. “Hari ini pasti menyebalkan,” tuturnya kembali.
Tidak perlu waktu yang lama untuk membersihkan diri dan mengenakan seragam sekolah. Ia sudah sangat siap bahkan menyisir rambutnya dengan rapi lalu ia biarkan terurai. Gadis itu tak ada niat sama sekali untuk memotong rambutnya, lagi pula tak ada juga yang akan berkomentar jika rambutnya sudah sangat panjang.
Deringan ponsel terdengar, ia meraihnya, terlihat di layar ponsel tertera nama Amanda yang merupakan temannya di SMA. “Paan sih Nda?” suaranya terdengar jengkel.
“Gue cuman mastiin kalo lo sudah bangun.” Terdengar di seberang sana suara pengering rambut.
“Gue gak selelet elo!”
“Eh, gak tau terima kasih, gue baik nih perhatian sama lo!!”
Gadis itu terdengar berdecak. “Lo tuh yang dandan kek kebo!”
“Pengen gue tampol lo, boleh lah!!” suara Amanda meninggi namun di abaikan oleh si gadis ini. Ia menunggu kembali Amanda berucap.
“Oh, ya, gue denger kemarin lo di tembak sama kak Fadhil, yah?”
Gadis itu hanya diam. Seolah ia malas untuk membahas hal kemarin. Amanda kesal karena di seberang sana tak ada jawaban. “Jawab, wey, Thalia!!”
“Iya, dia nembak gue.”
“Terus, lo terima?”
“Ogah! Gila aja nerima dia, kalau bentukannya kayak Iqbal Ramadhan gak papa. Ini tukang sapu jalanan.”
“Lo sombong gak nanggung-nanggung. Padahal cewek-cewek pada ngincer tuh kakak kelas, lo seenaknya nolak.”
“Gue gak peduli. Dia bukan tipe gue. Dan mendingan lo selesaikan semiran rambut lo sebelum terlambat sekolah.” Thalia menutup panggilan mereka berdua.
“Eh, Tha!! Anjir!” Tentunya Thalia takkan bisa mendengar umpatan Amanda di seberang sana.
Thalia segera meraih tasnya, ia turun ke bawah karena kamarnya berada di lantai dua. Sangat sepi, tidak terlihat seorang pun, ia tak peduli juga. Ia menuju meja makan, di atas meja itu ada secarik kertas berwarna kuning. Di ambilnya lalu ia baca.
Raut wajahnya menjadi sedih namun hanya sesaat. Lagi pula sudah terbiasa ia sendiri. Tidak ada sapaan di pagi hari atau pertanyaan antar keluarga tentang aktivitas Thalia di sekolah.
“Mending gue tinggal di apartemen, jadi bisa bebas,” ucapnya entah pada siapa namun terasa lucu.
Thalia menghabiskan sarapan paginya sendirian saja tanpa ibu apalagi ayahnya. Sial, harinya sudah ia prediksi tidak baik.
<><><><>
Sekolah yang menjadi salah satu sekolah favorit ini menampung murid cerdas dengan nama Thalia, tidak ada yang tidak mengenal Thalia karena ia sering menjuarai perlombaan dengan mewakili sekolahnya ini. SMA Lazuardi, entah mengapa namanya seperti itu, apakah karena Lazuardi mengarah pada warna biru padahal tidak banyak warna biru di sekolah ini.
Thalia menatap kesal padahal ini baru selesai pelajaran pertama. Ia sudah berpapasan dengan Fadhil, kakak kelas yang kemarin menembaknya di depan banyak anak-anak. Fadhil termasuk kakak kelas yang terkenal karena anak Teater yang rupawan.
Rupawan apanya, Thalia malah menganggap Fadhil itu alay dan otaknya agak miring. Bisa-bisanya menembak Thalia saat akan pulang sekolah, pakai acara di depan banyak orang lagi.
Kini kakak kelasnya itu menghampiri Thalia yang baru saja dari toilet dengan Sissy.
“Thalia!” teriak Fadhil namun tak digubris oleh Thalia. Ia masih berjalan seolah tak ada yang memanggilnya.
“Thalia, gue mau bicara sama lo!”
“Tha, lo dipanggil tuh,” ujar Sissy agar berbisik.
“Apa? Gak denger gue, angin lewat aja kali.”
“Thalia!” Fadhil menarik lengan Thalia namun dengan cepat gadis itu tepis.
“Apaan sih lo!”
“Sorry-sorry, gue gak maksud. Gue dari tadi manggil lo, tapi gak lo sahut.”
“Emang siapa lo terus manggil gue? Peliharaan gue?!”
Sissy hampir saja terdesak dengan pernyataan Thalia. Sahabatnya ini memang tidak tanggung-tanggung jika sudah bertingkah sombong. Pantas saja ia di kenal orang-orang, tidak hanya dengan prestasi, tetapi dengan sifatnya itu.
“Bukan gitu juga, Tha,” ujar Fadhil agak gugup.
“Terus lo mau ngomong apa? Gue mau cepat.” Thalia menyilang kedua tangannya di depan dada.
“Gue mau dengar jawaban lo kemarin.”