Bertemu dengannya adalah bencana terbesar dalam hidupku
Jadi Semesta, enyahkan bencana itu
<><><><>
Rumah Kala memiliki jarak yang lumayan jauh dari sekolah namun hanya memerlukan satu kali angkot saja, ia bersyukur akan hal itu. Sebenarnya dulu Kala menggunakan sepeda motor atau di rumahnya ada dua sepeda motor, untuk ayahnya dan dirinya. Namun karena sepeda motor ayahnya sudah rusak dan berapa kali diperbaiki namun tetap saja tidak mau benar seperti sedia kala hingga akhirnya sudah benar-benar tak bisa digunakan.
Kala akhirnya pada kelas 10 hendak semester dua merelakan sepeda motornya dipergunakan oleh sang ayah, melihat jika jarak ayahnya pergi bekerja lebih jauh dibandingkan dengan kala. Jadi akhirnya sejak kelas 10 semester 2 kala pulang-pergi sekolah menggunakan angkot, Kala sebenarnya tak masalah, apalagi kondisinya kini juga tak memungkinkannya untuk membawa sepeda motor.
Ayah Kala bernama Renjana atau lebih dikenal orang-orang dengan Pak Jana. Ayahnya seorang guru SMP yang jaraknya jauh dari rumah, kenyataanya pak Jana masih seorang guru honorer. Pak Jana sudah mencoba beberapa kali tes CPNS namun gagal, tahun ia pak Jana bermaksud untuk ikut tes CPNS, siapa tahu rezekinya ada di tahun ini.
Selain seorang guru, pak Jana juga memiliki warung yang merupakan bekas almarhum kakek Kala, warung itu dikelola oleh istrinya atau ibu Kala – Bu Kirana – bagaimana pun juga warung itu adalah peninggalan kakek Kala yang masih dijaga serta bermanfaat. Hitung-hitung juga penghasialan dari warung cukup untuk menambah penghasilan pak Jana yang seorang guru.
Kala menghela napas sesaat. Ia baru saja selesai memberishkan diri setelah pulang sekolah. Ada tugas presentasi PKN, ia dan kelompoknya menyelesaikan bahan presentasi di sekolah jadinya ia pulang lebih sore dari sebelumnya. Kala menatap jam dinding seraya melihat kalender, hari kamis, ia teringat jika biasanya pada hari ini. Ia akan ekskul basket dan berlatih dengan teman-temannya.
Menyedihkan, Kala tersenyum miris, melihat dirinya yang sekarang. Bahkan berlari kecil saja tidak bisa, apalagi menggiring bola ke ring lawan.
Membicarakan basket, Kala pernah mewakilkan SMA Lazuardi pada lomba basket saat kelas sepuluh, ia menang, rasanya bahagia. Ia bisa menyumbangkan piala selain dibidang akademik. Hari itu terasa lebih cepat hingga kecelakaan yang hamper mengubah seluruh dunia Kala, runtuh kemungkinan hanya tersisa puing-puing yang masih Kala coba pertahankan.
“Tim basket gimana yah? Gak ada ribut saat di grup lagi.” Dan hari di mana Kala tak bisa berjalan dengan normal, ia juga dikeluarkan dari tim basket.
“Tetapi bermain basket juga lelah, mending mengerjakan tugas atau membantu ibu di warung.”
<><><><>
Kala baru saja menyelesaikan tugasnya, ia juga sudah merangkum materi yang akan ia jelaskan pada presentasi pada dua hari lagi. Kamar Kala dominan berwarna abu-abu dan putih, ia juga memiliki rak buku yang sudah hampir penuh. Beberapa buku novel terlihat di rak milik Kala. Ia menabung uang sakunya untuk membeli nove; atau hal lain yang ia perlukan, karenanya Kala lebih sering membawa bekal dari pada makan di kantin.
Ia meraih ponselnya, mengecek grup kelas yang sedari tadi ribut. Ia sudah menebak jika grup kelas ribut bukan karena membahas pelajaran atau mendiskusikan pelajaran tadi siang, tetapi ribut membahasa anak kelas IPA 1 yang terkena hukuman dari guru PKN. Satu kelas tidak ada yang ingat tentang presentasi. Anak IPA 1 berpikir jika guru PKN akan menyuruh anak-anak untuk mengerjakan presentasi namun tidak, hukuman dijemur lapangan pun terlaksanakan.
Suara pimtu kamar terbuka, seorang anak laki-laki memasuki kamar Kala. Ia sambil membawa sebuah buku tugas matematika. Anak kecil itu sepertinya baru menginjak di kelas tigas SD, wajahnya terlihat mirip dengan Kala.
“Kakak-kakak, apa Kakak sibuk?” Suara anak itu terdengar menggemaskan.
Kala menaruh ponselnya dan menatap pada sang adik. “Kakak lagi gak sibuk, kenapa?”
Si adik kecil itu memperlihatkan buku tulisnya. “Nakula ada tugas matematika, tapi Nakula bingung, Kakak bisa bantu Kula?”
Kala tersenyum kecil pada adiknya Nakula atau yang biasa di sapa sebagai Kula. Mendengar nama Nakula, banyak yang bertanya kenapa Kala tidak bernama Sadewa. Pertanyaan klise yang kadang membuat Kala bosan.
“Tentu Kakak bisa bantu, tapi Kakak hanya akan mengajari bukan memberikan jawaban.”
“Kenapa bukan jawabannya?”
“Karena ini kan tugas Kula bukan tugas Kakak, kalau Kakak yang kerjakan nanti nilainya untuk Kakak.”
Kula membulatkan mulutnya hingga berbentuk O, ia lalu mengangguk kecil. “Baiklah, Kak.”
“Oke, kamu tarik kursinya, Kakak bakal ajarkan yang gak kamu bisa.”
Di keluarga ini, Kala adalah anak pertama dan ia hanya memiliki adik yang sedang ia ajarkan matematika ini. Nakula Ganendra, adiknya berada di kelas tiga SD. Arah sekolah Nakula dan Kala sangat jauh, namun Nakula bersekolah di sekolah dasar yang diajar oleh pak Jana, ayah Nakula dan kala sendiri.
Jarak yang berbeda dan jauh itulah yang membuat Kala harus pergi ke sekolah dengan menggunakan angkot.
“Apa Kak Kala capek?” tanya Kula di saat ia mengerjakan tugas.
Kala tersenyum kecil. Adiknya sering menanyakan perihal kesehatannya semenjak Kala mengakami kecelakaan. “Kakak selalu sehat.”
“Kaki Kak Kala gak sakit lagi?”
“Enggak, kaki Kakak gak sakit. Cuma gak bisa jalan aja.”
Kula memberikan ekspresi yang tak bisa Kala ketahui maksudnya. “Nanti Kula minta deh sama Allah agar Kakak bisa jalan lagi.”
Kala tersenyum. Ia merasa sedih sekaligus senang karena adiknya yang menyayangi dirinya dan paham akan kondisinya. “Makasih, yah. Selesaikan tugasnya nanti Kakak koreksi.”
“Siap Kakak!”
Ponsel Kala berderingan, memecah aktivitasnya. Ia menatap layar ponselnya yang menampilkan panggila dari nomor yang tak ia kenal. Kala bingung, siapa yang meneleponnya pada malam hari. Jarang sekali orang lain mempunyai nomor Kala terkecuali anak-anak kelasnya.
“Dek, sebentar yah, Kakak angkat telpon dulu.”
“Oke, Kak.”
Kala sebenarnya enggan namun siapa tahu panggilan ini penting. Siapa tahu salah satu anak kelas atau guru yang tidak ia simpan nomornya. Jika panggilan ini dilakukan oleh anak-anak alay yang iseng atau kurang kerjaan, maka akan ia blok.
“Selamat malam Kala!!” Suara di seberang sana terdengar familiar namun Kala tak mengingat siapa pemiliki suara ini.
“Si...siapa?” tanya Kala, si penelpon mengenalnya, apakah Kala juga mengenalnya. “Lo siapa?”
“Kala, lo lupa sama gue yang nyatakan perasaannya ke elo?”
Sial, Kala hampir saja mengumpat. Ia tak mau Nakula mendengar kata-kata yang kasar. Kala berpikir jika masih mending dengan anak-anak alay yang iseng meneleponnya dibandingkan harus mendengar suara gadis gila ini.
“Halo, Kala, lo dengar ingat gue kan?”
“Ya. Dari mana lo dapat nomor gue?” Kala langsung tersulut amarah. Ia tidak pernah memberikan nomor ponselnya kepada mereka yang tak penting bagi Kala.
“Kok lo malah nanya itu, gak kangen apa sama gue?”
“Gak! Jawab pertanyaan gue, dari mana lo dapat nomor gue!” Suara Kala agak meninggi.
Thalia terkekeh, ia bisa menebak jika Kala sedang kesal saat ini. Menggemaskan juga mengerjai Kala si cowok dingin. “Kala, apa sih yang gak gue tau tentang lo.”
“Gak usah main-main deh. Gue tau kalau lo cuman ngerjai gue doang kan!!”
“Kala gak mungkin lah, gue suka sama lo!” Kala merasa jika telinganya panas dengan kebohongan yang Thalia ucapkan.
“Gue blokir nomor lo, cewek gila.” Kala memelankan suaranya di akhir kalimat.
“Kala, pliss jangan blokir. Lo tega banget sama gue.”
“Jawab pertanyaan gue dulu?!”