Lengkuh Relung

notreallydie
Chapter #1

Dia yang Abadi Dalam Jiwa

Aku terbangun dari mimpi buruk kebaikan hatinya. Berlarian di bawah pohon kersen, rambut panjangnya kelam berkibar. Sesekali ia menoleh memastikan agar aku tetap mengejarnya. Pada momen itu kerling matanya memancarkan senyum jahil. Bias matahari mengiringi dia yang mengenakan gaun musim panas tipis menjuntai. Kala itu kami hanya anak-anak yang tak memahami banyak hal. Saat yang abadi dalam mimpi tak berkesudahan. Ariella bukanlah nama yang mudah untuk dilupakan terutama di kampung halamanku yang syarat akan budaya sunda. Dalam wujud yang lebih dewasa, ia kan tersenyum hangat merentangkan tangan menerima kedatanganku dalam dekapan panjang kasihnya. Kami bercakap-cakap dalam kenyamanan sepihak. "Apa kabar?" "Bagaimana kehidupan merantau?" "Apa kamu masih suka makan makanan manis?" bagaimana bisa aku tidak jatuh dalam akrab yang ia tanam dalam pedihnya rindu?. Seakan menanggapi ketertarikkan jiwaku yang rapuh, jawaban penuh hati pun ku berikan. Untuk sesaat, yang hilang itu dihidupkan kembali. Suka cita merasukiku hingga buta akan pesan tegas penolakan yang selalu ia sisipkan. Bahkan setelah air bah menyapu bersih semua yang ia miliki bertahun-tahun lalu, Ariella masih menjeratku dalam tolak memabukan yang membuatku menggantungkan harapan bernama hidup. Dan di sinilah aku, terjaga dalam rutinitas antara perkuliahan dan pekerjaan.

Dengan susah payah kugerakkan raga serupa cangkang retak yang entah sampai kapan 'kan mempertahankan bentuknya. Aku mengusap mata lalu melirik sisi bantal, jam di layar hp menunjukan pukul 8.46. Biasanya aku akan panik dan bergegas bersiap ke kampus, tapi karena sekarang libur semester genap yang perlu ku pikirkan adalah pekerjaanku sebagai penulis artikel lepas di salah satu portal berita online. Biasanya aku akan mengirimkan 5 sampai 10 artikel ke editor dan melihat trafic pembaca sebagai perhitungan upahku. Memang menjenuhkan, tapi setidaknya pekerjaan ini mengizinkanku untuk berdiam dalam kesendirian seharian.

Drrtt!! Drrttt!

Sebuah panggilan masuk. Saat kulihat, ternyata Rianty, editorku.

"Halo?"

"Hari ini gausah nulis. Libur aja, tulisan lu udah kebanyakan, gua juga cape ngurusnya." Seperti biasa suara wanita 24 tahun itu terdengar ketus.

"Tapi komisi gua tetep cair, kan?" tanyaku memastikan.

"Iya lah, kan tulisan lu yang dulu masih tayang."

"Yaudah kalo gi-"

"Temenin gua makan yak di McD kek biasa. Sekarang. gua yang teraktir."

Tanpa sadar aku menghela nafas panjang mengingat ajakan makan pasti selalu berakhir dengan aku yang menjadi telinga untuk curahan hati soal masalah-masalahnya. Meski enggan, aku akan tetap mengiyakan, toh tak ada lagi yang bisa ku kerjakan.

Setelah menutup telepon, aku pun lekas bersiap dengan mengenakan kaos oblong hitam dan celana jeans. Setibanya di tempat yang telah disepakati, lautan orang-orang di sabtu pagi ini membuatku sedikit mual dan pusing. Untungnya Rianty duduk di luar dekat pintu masuk restoran, jadinya aku tidak perlu berkeliling mencari.

Lihat selengkapnya