Sayup suar roda mengarungi rel. Gumamman orang saling menyaut sementara panas berdesak seakan menghina AC gerbong yang tak dapat menetralisir putaran udara di dalamnya. Selama 5 jam kami harus berdamai dengan hiruk yang memabukan. Duduk di sampingku, Rianty tertidur pulas menyender ke jendela. Rambut ikalnya terikat di balik topi baseball yang menutupi setengah wajah bagian atasnya. Dengan earphone menyumpal kedua telinga, dapat dipastikan untuk beberapa jam kedepan ia akan diam bergeming menikmati mimpi.
Sementara itu kulihat jam di hp yang sudah menunjukan 7.30. Masih 1 jam setengah lagi hingga sampai di kampung halamanku di Garut. Karena bosan, aku pun mulai mengamati sekitar. Kebanyak pengguna kereta ekonomi dengan kursi saling berhadapan ini adalah orang-orang menengah yang membawa lebih dari satu anggota keluarga. Seperti yang duduk di hadapanku sekarang, sebuah keluarga kecil dengan anak balitanya. Si ibu nampak sibuk membuka tempat makan plastik berisi buah-buahan potong untuk si anak, sementara suaminya mengobrol dan bermain dengan si anak. Tanpa sadar aku tersenyum merasakan kehangatan yang seharusnya asing bagiku. Tiba-tiba aku teringat sebuah kisah yang sering nenekku ceritakan sebelum tidur. Saking seringnya diceritakan, aku seperti menyaksikan sendiri apa-apanya yang terjadi dalam kisah itu. Bahkan perasaan kehilangan si tokoh utama.
Kisah itu dimulai dengan malam hari di kamar bersalin rumah sakit umum 21 tahun yang lalu. Ketika semuanya membusuk, memuai, kemudian lenyap tak berjejak ketika seorang anak lelaki dilahirkan. Kenyataan itu pelik menghujam Hendra, pria 30 tahun yang tengah bersimpuh memegangi tangan mahkota hatinya yang tengah bertukar nyawa dengan kehidupan baru yang dihadirkannya ke dunia. Dengan nafas tercekat, wanita pujaannya itu mendeklarkan nama sang buah hati.
"A...res...ta..."
Ahh... Aresta yang malang. Nama itu diambil dari bahasa Yunani, Ariesta, yang bermakna puncak atau ujung dari kemuliaan dan kesempurnaan. Sungguh pengikat jiwa yang mengerikan. Ironi berkah sekaligus kutukan bagi si anak yang telah membunuh ibunya sendiri di hari pertama ia menghirup udara di bumi.
Namun, seakan kukuh dengan sang takdir, anak itu tidak menangis, membuat dokter dan para perawat kalang kabut meluruskan segala kemungkinan yang salah. Tubuh mungil itu dibalik, diputar, dan di tepuk. Di tengah semua perhatian itu, tubuh sang ibu mulai mendingin, dan di sampingnya hanya Hendra yang setia menemani. Meski sudah menjadi seorang ayah, ia sama sekali tidak berkutik, masih menggenggam tangan istrinya berharap kehangatan raga yang perlahan ditinggalkan jiwa itu akan kembali.
Tak ada tangisan yang mengiringi kepergian setengah jiwanya itu, bahkan tidak dari anak yang telaj diperjuangkan hadir. Di ruangan itu hanya ada sepi yang memekakkan hati. Haruskah ia mengutuk kehidupan baru yang telah merengut cintanya? Atau malah menjaganya, menjadikan warisan terakhir yang dititipkan sang kekasih? ia tidak tahu. Tiga menit kemudian suara tangis si anak pecah bergema layaknya sorai kemenangan.
Aku selalu menjadikan kisah ini sebagai pengingat akan rasa dan realitas jiwa. Setidaknya dengan mengingat, aku bisa "merasa". Kupalingkan wajah menatap permadani hijau di luar jendela gerbong. Keluarga kecil di dadapanku tidak lagi menarik perhatianku. Rianty masih bergeming di tempatnya. Andai Ariella yang ada di sampingku, ia pasti akan tertawa dan menceramahiku sama seperti ketika pertama kalinya aku bercerita.
"Aress... kamu tahu kenapa Nek Ida selalu menceritakan kisah itu tiap sebelum tidur?"