"Welcome To SMA Cendikia!!"
Prok prok prok!
Tepuk tangan meriah menyemarakkan seisi aula. Usai acara penutupan, seluruh calon siswa mendapat kesempatan untuk bersalaman dengan senior.
Para senior berbaris memanjang di halaman depan aula, sedangkan junior berbaris layaknya pasukan semut, berjalan mengendap-endap menuju pintu keluar. Senyum bahagia serta candaan terlontar antara senior-junior tatkala mereka saling berjabat tangan.
"Selamat bergabung dengan keluarga besar SMA Cendikia!"
Sambut sang ketua OSIS dengan nada penuh wibawa. Berparas tampan dengan lesung pipi di sisi kanan menambah kesan manisnya.
"Rajin belajar ya dek!"
Nasihat salah seorang cowok dengan kacamata yang terus melorot. Biasanya tipe ini merupakan seorang kutu buku dengan IQ di atas rata-rata.
"Dek, join ekskul basket ya!"
Sang ketua basket SMA Cendikia yang kabarnya sudah menyabet belasan penghargaan dalam kompetisi basket, baik di tingkat sekolah, kota, provinsi, bahkan nasional, mempromosikan ekskul kebanggaannya.
"Gabung sispala yok!"
Para siswa pecinta alam ikut promosi, tak mau kalah.
"Yang punya hati nurani, gabung di PMR ya!"
Ujar ketua PMR yang tak kalah tampan dengan sang ketua OSIS.
"Jangan lupa follow ig Abang ya dek!"
"Follow ya, pasti entar di follback!"
"Kalo ada perlu, chat aja ya dek!"
Ujar beberapa orang yang ikut berbaris. Mereka bukanlah pengurus OSIS, melainkan senior alay kurang kerjaan yang ikut-ikutan berdiri bersama jajaran OSIS. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk numpang tenar di depan junior.
Masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) berakhir hari ini. Semua siswa baru di SMA Cendikia bisa bernapas lega karena esok hari mereka resmi menjadi anak SMA dan bisa mengenakan seragam putih abu-abunya.
Tak lama setelah acara bersalam-salaman usai, rintik hujan mulai mengguyur tubuh lautan manusia yang bertebaran di lapangan basket.
Mereka berlari secepat mungkin, berlindung dari hujan yang makin deras.
Senyuman manis yang tercetak di wajah setiap calon siswa hari ini tak mampu meredakan hujan yang terlanjur runtuh membanjiri bumi.
Demi terhindar dari jatuhan butiran air yang makin ganas, Rafa, salah seorang siswi peserta MPLS, memutuskan untuk berteduh di depan gerbang sekolah. Sama seperti murid lainnya, ia berdiri sembari berharap agar sang hujan berhenti menangis, namun harapan itu sia-sia. Hujan semakin terisak bahkan angin pun ikut berlomba-lomba menyemarakkan suasana petang itu.
"Nih hujan kapan berhentinya sih?" Rutuknya sambil mengibaskan lengan baju olahraganya yang basah. Ia mengusap kedua telapak tangannya, bermaksud agar kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya.
Gadis itu melirik arloji branded yang melingkar di lengan kirinya. Jarum pendek menunjuk ke angka 5, sedangkan jarum yang satunya lagi mengarah ke angka 12. Itu berarti senja mulai menyelimuti langit. Ia melihat beberapa orang nekat menerobos guyuran hujan, berlari sembari melindungi kepala dengan apa saja yang mereka punya lalu menaiki angkot tujuan masing-masing.
Sempat keinginan untuk melakukan hal yang sama terlintas di benak gadis itu. Namun, ia mengubur niatnya dalam-dalam. Ia tak mau ditimpa murka sang mama jika ia pulang dalam kondisi basah kuyup.
Sudah setengah jam ia mematung di sana nyaris tak beringsut. Beberapa murid sudah pulang bersama jemputan mereka.
Enak ya kalo ada yang jemput kayak dulu, Rafa membatin. Matanya berkeliaran bersama guyuran hujan.
"Belom pulang?" Sebuah suara berat dan terdengar cool menyapanya. Sontak ia berbalik ke arah sang pemilik suara itu.
Matanya beradu dengan manik mata yang memukau di hadapannya. Bulatan hitam itu berhasil mencuri perhatian Rafa untuk beberapa saat.
"Hei!?" Orang itu mengibaskan tangannya tepat di depan wajah Rafa. Namun pandangan gadis itu belum juga beranjak.
Untuk kali keduanya, barulah gadis itu sadar bahwa orang di hadapannya tengah menatap heran ke arahnya.
"Lo denger gue kan?" Tanya sang pemuda memastikan. Orang itu pun memberikan gerakan sebagai isyarat guna memastikan bahwa gadis di hadapannya itu memiliki masalah pada indera pendengarannya atau tidak.
"Eee...i.. ii..iya." Balas Rafa gugup.
Sadar bahwa ia tengah diperhatikan, akhirnya pandangannya beralih dunia. Ia mengalihkan sorot matanya pada lalu-lalang kendaraan yang nekat membelah derasnya hujan.