"Hari teraneh bersama orang-orang gaje."
==
Hari ini adalah hari pertama Rafa menyandang status sebagai murid SMA. Betapa bahagianya ia, karena hari ini mimpinya untuk bersekolah di SMA Cendikia, sekolah yang sangat ia idamkan sejak lama akhirnya menjadi kenyataan.
"Selamat pagi dunia!" Decak Rafa sambil memainkan helai rambut dengan telunjuknya. Sudah lima belas menit gadis ini berada di depan meja rias. Bukan lantaran untuk bersolek, melainkan hanya untuk memandangi pantulan dirinya di cermin. Ia terlihat gugup pagi ini. Bagaimana tidak, ia akan bertemu dengan teman-teman baru. Untuk itu ia harus benar-benar mempersiapkan diri menyambut dunia barunya.
Rafa menghela napas panjang sambil memicingkan matanya. "Huh, tenang!" Ia membuka mata dan tersenyum pada sosok di depannya lalu segera keluar kamar.
Setibanya di lantai dasar, ia melihat seorang wanita tengah sibuk dengan peralatan dapur. "Ma, Rafa berangkat dulu ya. Assalamualaikum," Pamit Rafa sambil mendekap wanita itu dari belakang. Cukup lama ia membiarkan posisinya sebelum sebuah tangan mengelus rambutnya. "Waalaikum salam. Hati-hati ya, Nak." Ujar Mama dengan nada teduh.
Rafa meraih tas yang bertengger di sandaran sofa. Ia menyandang satu tali tas di pundak kiri, sedangkan tali yang satunya lagi dibiarkan menjuntai ke bawah. Tangan jenjangnya meraih kenop pintu lalu memutarnya perlahan. Dengan mata yang masih terfokus pada layar handphone, gadis itu membuka pagar besi bercat hijau yang mulai terkelupas lalu menghempaskannya kasar sehingga menghasilkan bunyi nyaring yang memekakkan telinga.
titt tittt titt
Sebuah motor sport berwarna merah mengkilap berhenti di depan Rafa. Beruntung, sebelum ban motor itu melindas kakinya, Rafa telah lebih dulu bergerak mundur.
"Hei, lo punya mata gak sih?!" Bentak Rafa pada cowok dengan wajah yang masih tersembunyi di balik helm yang senada dengan motor sport itu.
Orang itu melepaskan kedua sarung tangan hitamnya bergantian. "Boleh pinjem HP lo gak?" tanya cowok itu tanpa repot-repot melihat lawan bicaranya. Ia masih sibuk dengan sarung tangannya.
Kedua mata Rafa membulat sempurna. "Hei, lo kira HP gue wartel?! Lo siapa sih?" Gadis itu melirik sekilas ke arah orang yang masih bertengger di motor sport merah itu. Dilihat dari celana yang dikenakan, Rafa yakin orang itu masih duduk di bangku SMA. Namun, Rafa tidak bisa memastikan dimana tepatnya orang aneh itu bersekolah. Gadis ini tidak bisa melihat nama ataupun lokasi sekolah orang tersebut karena tertutup oleh jaket.
"Ah, gak usah banyak mukadimah. Nih, pegang!" Orang itu menyerahkan sarung tangannya kepada Rafa. Dan, yang membuat Rafa tidak habis pikir, orang itu dengan lenggang merampas handphone miliknya tanpa izin. Rafa berusaha merebut kembali ponselnya, namun gerakannya masih kalah cepat dari orang itu.
"Mmmm, Ok." Orang itu menyelipkan ponsel Rafa ke dalam helm-nya--menaruhnya di daun telinga kanan. Beberapa detik kemudian, "Nih, makasih ya." Ia mengeluarkan ponsel itu dan mengembalikannya kepada Rafa. Di saat yang bersamaan, orang itu mengambil kembali sarung tangan yang sempat ia titipkan kepada Rafa beberapa detik lalu. Tanpa memperlihatkan wajahnya kepada Rafa, orang itu langsung melesat tanpa mengacuhkan air muka Rafa yang jengkel.
Rafa tercenung melihat aksi konyol orang itu. Seumur-umur, baru kali ini ia bertemu dengan orang seperti itu.
Sadar bahwa handphone kesayangannya telah kembali ke genggamanya, ia segera mengecek sesuatu yang dilakukan oleh orang tadi.
"Jangan sampe tu orang liat galeri gue!" Decak Rafa khawatir.
"Mampus, lupa gue password!'' Jerit Rafa histeris saat mendapati ikon galeri foto terbuka tanpa terhalangi oleh apapun.
Bego! Bego! Bego! Ia menempeleng kepalanya beberapa kali.
"Anju, dia jadi tau deh kalo sebenarnya gue itu seorang Army!" Rutuk Rafa lagi.
Di tengah kesibukannya mengotak-atik ponsel, tiba-tiba matanya bersitatap dengan empat buah angka yang dibatasi oleh tanda titik dua di bagian kiri atas layar ponsel. Di sana tertera 07:05, itu artinya sepuluh menit lagi bel sekolah akan berbunyi dan sampai detik ini ia masih berdiri tepat di depan gerbang rumahnya tanpa beringsut.
Gue telat! Batin Rafa panik.
Rafa mempercepat langkahnya. Kedua tapak sepatu yang masih terlihat baru menampar permukaan aspal. Berlari sekuat tenaga. Hembusan angin pagi menerpa wajah kakunya. Beberapa helai rambut hitamnya bergerai tak beraturan ia acuhkan begitu saja.