Lentera Hafa

Kopi Pekat
Chapter #1

Pantaskah Aku?

“Hafa Naadhira, kamu berani bersumpah di depan kami semua kalau saat ini kamu masih suci?!”

Hafa mematung. Rasanya dia telah kehabisan nafasnya saat itu juga kala pertanyaan itu meluncur, menuding ke arah dirinya.

Di detik entah yang ke berapa, Hafa melirik ke arah sekitarnya. Tangannya yang sedingin es mengepal kuat. Melihat semua orang yang menatapnya dengan pandangan berbeda-beda, membuatnya ingin menghilang saat itu juga.

Di sini bukan tempatnya! Dia ingin pergi!

“Hafa!” namanya kembali terpanggil, kali ini dengan suara yang lebih tegas.

Hafa, gadis pemilik mata almond itu kembali memusatkan atensinya pada si penanya. Gurunya.

Guru yang selama ini mati-matian ia hormati, sekarang malah melontarkan tanya yang begitu kejam menggerus hatinya?

Pening melanda. Ataukah baiknya dia pingsan saja sekarang?

Namun belum juga dia merealisasikan rencana pingsannya, kepalanya lebih dulu mengangguk patah-patah.

“Jawab yang benar!” kesabaran rupanya tak betah terlalu lama membersamai sang guru.

“M-masih, Pak!” Hafa sudah sangat berusaha menjawab dengan benar, meski yang keluar dari mulutnya hanya berupa cicitan saja.

Lagi pula, dia masih belum memahami konteks dari pertanyaan yang terlontar untuknya tadi.

Dalam kepalanya ia terus bertanya. Kenapa? Kenapa gurunya menanyakan hal aneh seperti itu pada dirinya?

Bahkan dirinya sendiri saja tak tahu apa yang telah dilakukannya hingga mendapatkan pertanyaan seperti itu.

“Jangan membohongi kami, Hafa! Jawab yang jujur! Kamu berani bersumpah Al-Qur’an kalau kamu masih suci hah!”

DUARR!

Bersamaan dengan petir yang menyambar sadarnya, sepasang mata almond yang sempat tertutup dalam waktu sekian menit itu terbuka begitu lebar.

Menyadarkan sang pemilik untuk terjaga dengan keringat yang mengalir di kedua pelipisnya.

Nafasnya tersengal-sengal, berulang kali bibir merekah itu menggaungkan istighfar hanya supaya ada tenang yang kemudian membersamainya kembali.

Setelah dirasanya debaran pada dadanya sudah cukup tenang, Hafa beringsut meraih gelas berisikan air putih yang berada di bufet kecil samping kasurnya.

Menenggaknya rakus. Seolah ia baru saja diserah oleh kemarau panjang.

Lalu ia termangu dalam diamnya.

Mimpi buruk itu harusnya sudah lama tak lagi singgah pada tidurnya.

Biasanya, dia akan sebisa mungkin menyangkal pikirannya saat sudah mulai mengarah pada hal menakutkan itu.

Namun kali ini, salahnya juga yang tak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

Semuanya berawal dari pagi tadi hingga membuat pikirannya tercabang dan kembali teringat dengan kisah kelam tersebut.

Pagi saat seorang imam di kampung ini mendatangai rumahnya.

Ingatannya berkelana....

Lihat selengkapnya