Lentera Ukhuwah

Mizan Publishing
Chapter #2

Prolog

Ukhuwah dalam Islam memiliki makna yang tidak sederhana. Ia bisa saja dimaknai sebagai persaudaraan atau bersaudara. Ukhuwah berasal dari akar kata akh dengan arti teman akrab atau sahabat. Bentuk jamak dari akh dalam Al-Quran ada dua macam. Pertama, ikhwan yang biasanya digunakan untuk persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali, sebagian digandengkan dengan kata al-dîn, (QS Al-Taubah [9]: 11), dan sebagian lagi tanpa al-dîn, seperti dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 220. Kedua, adalah ikhwah yang terdapat pada Al-Quran sebanyak 7 kali. Keseluruhannya digunakan dalam makna persaudaraan seketurunan, kecuali satu ayat innamâ al-mu’minûna ikhwah (QS Al-Hujurât [49]: 10).

Ukhuwah pada mulanya berarti “persamaan dan keserasian dalam banyak hal”. Adanya persamaan dari satu keturunan, maka dua orang yang berbeda disebut bersaudara, juga sebab ada persamaan dalam sifat-sifat mengakibatkan persaudaraan.

Surah Al-Hujurât tersebut, pada ayat 10 menggunakan kata ikhwah bagi persaudaraan antar-iman/Islam. Padahal kata ikhwah, seperti telah dikemukakan, lebih bermakna persaudaraan karena ikatan keturunan. Jika melihat bahwa seorang Muslim berasal dari bangsa yang berbeda-beda dan tentunya dari keturunan yang berbeda, kata yang tepat seharusnya ikhwan. Tetapi rupanya Al-Quran menganggap bahwa kesamaan dalam iman/Islam bukan kesamaan biasabiasa, kesamaan dalam iman/Islam adalah persaudaraan yang menyebabkan bahkan yang asing menjadi satu keturunan. Iman/Islam dengan demikian bukan sekadar institusi religi, tetapi menjelma menjadi sumber kehidupan, sehingga yang memasukinya sama seperti beribu padanya. Konsekuensinya, siapa pun yang memiliki kesamaan dalam iman/Islam harus dianggap sedarah dan sedaging, saudara.

Al-Quran dan hadis sebenarnya tidak memberikan definisi yang jelas mengenai apa itu Ukhuwah Islamiyah. Yang dikemukakan Al-Quran adalah contoh-contoh praktis mengenai ukhuwah itu. Salah satu contohnya adalah Surah Al-Hujurât tadi.

Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara (ikhwah), karena itu damaikanlah (ishlâh) antara kedua saudaramu (yang berselisih), dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (ayat 10)

Surah itu mengemukakan bahwa antarorang beriman memiliki kesamaan, karena itu dianggap (atau selayaknya) bersaudara. Sebagai konsekuensi dari persaudaraan itu adalah melakukan “ishlâh antar-sesama saudara”. Kata ishâh secara harfiah bisa diartikan sebagai “mendamaikan antara dua orang (atau lebih) yang berselisih”.

Quraish Shihab mengartikan ishlâh sebagai tindakan menghadirkan nilai yang dengan nilai itu sesuatu bisa lebih bermanfaat sesuai dengan tujuan kehadirannya. Maka melakukan “ishlâh antarsesama saudara” tidak hanya bermakna mendamaikan yang berkonotasi ketika ada perselisihan, tetapi lebih dari itu, upaya terus-menerus (dalam segala keadaan) untuk menghadirkan nilai manfaat dalam diri tiap Muslim.

Menghadirkan sesuatu berarti tindakan ishlâh harus dalam bentuk nyata dan dalam bentuk fisik materiel. Seperti dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar:

“Seorang Muslim bersaudara dengan Muslim yang lain. Ia tidak menganiayanya. Tidak pula menyerahkannya (kepada musuhnya). Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa yang melapangkan suatu kesulitan seorang Muslim, Allah akan melapangkan baginya satu kesulitan pula dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi pada Hari Kemudian. ”

Demikian Al-Quran mencontohkan bagaimana ukhuwah bisa dilakukan secara konkret. Jadi, Al-Quran mengajak umat Islam untuk lebih mengutamakan tindakan bersama dalam menghadapi masalah keumatan, ketimbang menghabiskan waktu untuk menghitung kesamaan dan perbedaan antara satu sama lain.

Kembali pada perkara ukhuwah, seorang sosiolog mengemukakan bahwa suatu masyarakat tidak dapat mempertahankan dirinya sebagai suatu kesatuan apabila anggotanya tidak mempunyai nilai-nilai yang sama. Ini berarti suatu masyarakat membutuhkan ukhuwah, suatu integrasi yang dilandasi nilai-nilai bersama. Integrasi merupakan prasyarat bagi perkembangan pribadi yang sehat, sedangkan kebalikannya, disintegrasi, menjadi sumber dari penyakit sosial. Integrasi sosial ini telah menjadi jargon banyak kebudayaan atau negara, seperti prinsip menjalin kesatuan dan persatuan di negeri ini yang mengangankan adanya integrasi sosial atas dasar kesamaan berbangsa.

Namun, yang diwartakan Surah Al-Hujurât tadi adalah integrasi atas dasar iman. Persaudaraan dalam Al-Hujurât itu dikaitkan dengan kualitas keimanan seseorang. Jika orang bisa bersaudara dengan tulus, ia berada dalam keimanan yang bertakwa; sebaliknya jika iman tidak disertai rasa persaudaraan, ia harus melengkapi keimanannya dengan tobat dan takwa—yang dengan cara demikian ia dipastikan akan membangun relasi ukhuwah.

Menganggap orang lain sebagai saudara ternyata tidak sekadar ekspresi pragmatis dalam kehidupan. Tidak sekadar siasat agar dalam kesulitan menjalani kehidupan, ada orang lain yang bisa membantu kita dengan tulus, tetapi lebih dari itu menunjukkan kualitas keimanan. Kaitan dua hal ini, iman dan ukhuwah, menyajikan suatu jalin kelindan yang menarik. Seperti hendak mengatakan simbiosis mutualisme, ada iman karena ada ukhuwah, ada ukhuwah karena ada iman. Keimanan bisa dikatakan sebagai turunan dari konsep tauhîdullah, sementara ukhuwah berkaitan dengan tauhîd ummah. Persenyawaan dua sikap yang pada gilirannya membentuk individu yang utuh sebagai bahan dasar terbentuknya bangunan kebersamaan.

Dalam hukum kehidupan bisa dirumuskan bahwa selalu harus ada kesatuan tindakan bagi mereka yang secara serentak mencari kebenaran. Manusia sendiri harus berusaha menemukan kesamaan tujuan dalam sejarah yang diciptakannya, agar lewat kesamaan itu semua manusia menganggap keberlainan adalah saudara dalam variasi yang saling melengkapi. Tetapi Tuhanlah yang membantu menyatukan temuan-temuan individual ini menjadi gerakan persaudaraan yang efektif. Menggantungkan diri kepada Tuhan tanpa persaudaraan sosial berarti mengingkari kebebasan manusia untuk menciptakan dunia kehidupannya sendiri. Sebaliknya, persaudaraan sosial tanpa Tuhan berarti menciptakan suatu kelompok individu sembari tidak mampu mengatasi kepicikan mereka sendiri.

Dalam menafikan Tuhan, tindakan kelompok akan tampil sebagai suara hiruk yang menuntut hak-hak pribadi yang saling ingin didahulukan atau nafsu kuasa dari masing-masing individu yang tak tertahankan. Sehingga hubungan sosial (ukhuwah) tercipta tidak dari lubuk kesadaran, tetapi dari paksaan atau menyimpan niatan untuk menguasai/mengambil keuntungan sementara dan parsial. Dalam menafikan kesadaran bersama, tindakan kelompok akan tampil sebagai pasukan tanpa darah. Bagaimanapun, kesadaran bersama lahir dari pengalaman bersama. Karena setiap manusia merupakan produk dari pengalaman sejarah yang berbeda, tindakan kelompok harus merasakan kebenaran dalam seperangkat proposisi yang sama, atau mereka harus merasakan kebutuhan inheren manusia akan tindakan ukhuwah.

Kait kelindan antara tindakan individu dan Tuhan dalam membangun kelompok persaudaraan ini terlihat jelas dalam Surah Al-Hujurât tadi. Masing-masing individu diminta Tuhan untuk menahan diri melakukan penilaian yang memecahkan kohesivitas kelompok. Penilaian jenis itu digambarkan sebagai “memakan daging saudaranya sudah yang mati”. Sukakah? Seharusnya kita merasa jijik. Maka, “Bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang”, dan bentuk takwa itu adalah “jauhilah kebanyakan dari prasangka”, “janganlah mencari-cari kesalahan orang lain”, dan “janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”.

Ukhuwah dalam ayat tersebut tampak sebagai tindakan etik, yaitu tindakan yang membatasi kesemena-menaan nafsu dalam memandang orang lain. Namun, apakah ukhuwah penting dijadikan paradigma utama tindakan etik di Indonesia? Dan bagaimana itu semua bisa dilakukan?

Dipeluk dan Memeluk Islam

Cara umat Islam Indonesia dalam menanggapi agama bisa dikelompokkan ke dalam dua kategori. Mengutip Clifford Geertz dalam Islam Observed, ada dua kategori sikap kita terhadap agama. Yaitu sikap “memeluk” (religious-mindedness) dan “dipeluk” agama (religiousness). Sikap memeluk agama ditandai oleh kecenderungan untuk ragu terhadap kekuatan dan kemampuan mengikat agama. Atau sikap membuat jarak dari keyakinan agamanya, dalam arti ia tidak lagi tenggelam dalam kerutinan agama, tapi aktif mempertanyakan ajaran yang kebenarannya diterima secara apriori. Sebaiknya, sikap dipeluk agama tampak ketika orang menenggelamkan dirinya dalam pelukan agama. Sikap ini membiarkan seluruh kemanusiaan larut begitu saja dalam setiap postulat dan doktrin keagamaan tanpa kesangsian. Kecemasan akan kesalahan begitu kuat sehingga sikap kritis terhadap agama mati sebelum berkembang.

Keduanya bisa benar sekali juga salah. Artinya, keduanya tidak mutlak benar dengan sendirinya, bergantung di mana dan bilamana kita berada. Namun sayang, keduanya telah terpilah ke dalam dua golongan paham, pihak modernis merasa diri absah dengan sikap “memeluk” dan menyalahkan kaum tradisionalis yang bersedia untuk “dipeluk” saja; demikian pula sebaliknya.

“Memeluk” agama ditengarai oleh sejumlah kepercayaan berlebih pada kemampuan rasio sebagai sarana paling menentukan untuk bisa beragama secara benar. Rasio adalah panglima menuju kemenangan menembus kebenaran utama, di luar jalan rasio tak ada kebenaran. Lewat akal inilah semua ajaran agama dikritisi dan dibicarakan ulang dengan peranti format-format kontekstual.

Dengan kepercayaan berlebih terhadap kecerdasan akal, mereka terus memerankan diri sebagai “pembicara” suara Ilahi, sembari lupa menjadi pendengar yang baik. Mereka mengemukakan sejumlah ayat Al-Quran dengan tafsir yang cenderung memaksakan makna kontekstual pada ayat, sambil melupakan bahwa setiap ayat memiliki maknanya tersendiri. Sikap ini serentak membuat kearifan untuk mengeluarkan makna dari ayat menjadi hilang, ijtihad menjelma menjadi kegiatan “mencari-cari akal untuk sesuatu yang tidak ada dalam Al-Quran dan Sunnah”, sambil melupakan bahwa ijtihad bagaimanapun hanyalah ikhtiar untuk “mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi di balik abstraksi-abstraksi teks”. Pilihan mereka membuat penafsiran menjadi kegiatan “pembongkaran” yang terlalu bebas dan memaksa, sampai pada tahap tertentu akan tampak suatu gejala yang bukannya mengemukakan apa kata Allah dan Rasul, tetapi mengemukakan apa yang seharusnya dikemukakan Allah dan Rasul-Nya. Akal dan kecerdasannya menggurui Allah dan Rasul.

Lihat selengkapnya