Hujan masih meninggalkan rintik membasahi jalanan kota. Kubangan di sana-sini tampak berkecipak terinjak kaki-kaki manusia yang berburu tempat berteduh. Belum lagi hawa yang semakin lembap dan sedikit berangin, membuat jajaran orang di halte yang sempit itu melipat kedua tangan di dada. Termasuk Tera yang duduk paling tepi karena mau tak mau sesekali cipratan air dari luar area halte menimpanya.
Sesekali Tera menghela napas, berharap langit berhenti mencurahkan air barang 30 menit saja agar ia sampai rumah. Seharian ini di kantor media cetak tempat ia bekerja membuatnya lelah. Menjadi seorang pengisi konten membuat Tera dan Bela hampir terus berpikir keras, tulisan apa yang sanggup menarik pembaca lebih banyak. Terkadang ia harus berkeliling bersama Bela, mencari tempat-tempat menarik untuk isian konten di rubrik wisata atau kuliner. Dan bekerja di lapangan itu sungguh melelahkan.
Namun, demi tekat mengurangi intensitas pertemuannya dengan Ayah, Tera rela lelah setiap hari.
“Kamu tahu, Nak, Ayah ingin kamu jadi lentera dunia.”
Kalimat Ayah sejak bertahun-tahun lalu kembali terngiang.
Lentara itu sudah padam sejak kita berbeda pandangan hidup, Ayah.
Tera mendecakkan lidah saat kembali bergumul dengan kenangan. Tera akan memadamkan lentera itu. Biarkan saja mati, agar Ayah tahu betapa sesaknya saat kehilangan lentera kehidupannya. Supaya Ayah tahu, betapa kecewanya Tera saat tahu lentera miliknya dipadamkan begitu saja.
“Tera!”
Suara seorang wanita dan klakson mobil terdengar menyapa, membuat si punya nama berjingkat terkejut.
“Aku anterin pulang,” tawar Bela. Wanita dengan bandana berpita itu muncul dari balik kaca jendela mobil yang sudah diturunkan.
Kesempatan, pikir Tera. Ia berlari kecil dengan kedua telapak tangan menutupi kepala. “Thanks,” ucapnya setelah masuk dan menutup pintu mobil.
Bela tersenyum dan mengangguk cepat seraya melepas pijakan rem dan melajukan kembali mobil matic-nya.
“Gimana? Tadi jadi ketemu Sam di ruangannya?” Bela bertanya sembari memutar setir ke kanan menuju arah ke mana Tera pulang.
Mendengar pertanyaan itu sontak membuat Tera menghela napas berat seraya membanting punggung ke sandaran. “Ya … udah, tapi kayaknya besok aku bakalan berusaha nolak, deh,” jelas Tera sembari mengusap lengan kemeja yang sedikit lembap.