LENTERA

Anjar Lembayung
Chapter #3

BAGIAN 2

"Jadi gimana?"

Suara di seberang telepon sana membuat Tera menggigit bibir dan berpikir keras. Ia masih saja berjalan mondar-mandir di dalam kamar.

"Halo?"

Tera berjengit mendengar laki-laki itu masih menunggu jawaban. "Mm ... gimana ya, Pak? Saya belum izin sama ayah saya. Misal—"

"Ya udah, sekarang bilang. Besok saya tunggu keputusannya," pungkas Sam setengah memaksa.

W-what? Mudah sekali pria ini bicara. Ia pikir bicara dengan Ayah semudah bicara pada anak TK? Tera mengacak rambutnya yang sudah berantakan.

"Ta-tapi, Pak ...."

"Selamat malam."

Sambungan telepon terputus, membuat wanita yang hanya memakai kaus longgar dan celana pendek itu melongo seraya menatap layar ponsel. Ternyata selain lempeng dan tampang tua, Sam adalah manusia yang suka mengambil keputusan sepihak. Tera melempar ponsel ke ranjang, diikuti dirinya membanting tubuh, lalu berguling-guling tak keruan.

Kenapa bukan Juan saja? Kenapa bukan Bela? Bukankah mereka berdua lebih senior? Sudah jelas-jelas tadi siang Tera tak sengaja mengangkat tangan. Oh, kenapa bukan dengan Bu Lianti? Ya, Bu Lianti! Wanita berbadan gitar yang kerap menjadi tontonan menarik bagi si usil Juan.

Tera mendesis miris. Demi melupakan kegelisahan sejenak, ia bangkit dari rebahan, meninggal selimut—yang berantakan dengan ujung menjuntai ke lantai—ke dapur untuk mencari minuman dingin. Tepat saat membuka pintu, wanita berbadan sedikit gempal itu muncul membawa nampan berisi segelas susu. Seperti biasa, jilbabnya panjang menjuntai menutup dada, tetapi kealimannya itu tak lantas membuat Tera bersimpati.

Tanpa memberi kesempatan wanita itu bicara, Tera berjalan melaluinya. Dari ujung mata, Tera bisa melihat ekspresi kecewa yang terpendam darinya. Namun, ia memilih tak ambil pusing dan kembali menutup kulkas saat sekaleng minuman dingin digenggam. Minuman ringan berperisa jeruk yang Tera ambil langsung tandas. Bunyi berkelotak terdengar saat kaleng yang terlempar berbenturan dengan tempat sampah.

Beberapa detik Tera hanya berdiam diri di dekat meja dapur, jemarinya sibuk mengetuk-ngetuk sisi meja. Dari sini ia bisa melihat Ayah yang sedang duduk di ruang tengah dengan kacamata bertengger di pangkal hidung. Setumpuk tugas siswanya masih menjadi fokus utama kedua mata. Sesekali pria berambut hampir seluruhnya kelabu itu menggeleng pasrah karena terpaksa mencoret merah kertas tugas siswa.

Lihat selengkapnya