Bersitegang dengan Ayah sudah cukup membuat Tera terjangkit insomnia akut. Semalam ia baru bisa memejam dan terlelap menjelang subuh. Namun, mengingat alarm ponselnya selalu rajin berbunyi di jam bangun pagi, wanita yang tengah berjalan di halaman kantor itu terpaksa bangkit. Ia tidak suka terjebak macet dan membuatnya berurusan dengan HRD karena kerap terlambat masuk.
Tera menghela dan mengembuskan napas pelan seraya mengayun tas tangan. Pikirannya kacau. Kelak bila uang tabungan cukup, sewa apartemen dan tinggal terpisah dengan orang tuanya menjadi pilihan terbaik.
"Jadi, bagaimana?"
Suara laki-laki yang tiba-tiba mensejajari langkah membuat Tera berjingkat terkejut. "Astaga!"
Sam mengerjap melihat keterkejutan Tera yang terkesan berlebihan. Wanita itu mengelus dada seraya mengembuskan napas kasar.
"Bisa enggak sih, Pak, nyapa dulu? Kaget saya," keluh Tera.
"Tadi aku sudah memanggilmu," ungkap Sam dengan kedua tangan tersimpan pada saku celana chino yang dikenakan.
Giliran Tera yang mengerjap dua kali. Mungkin saking seriusnya ia melamun, sampai-sampai tak dengar ada yang memanggil. "Oh, maaf," ucap Tera dengan senyum masam. Ia kembali berjalan dengan Sam di sampingnya.
"Jadi?" Sam melanjutkan.
"Mm, maaf, Pak, Ayah saya tidak mengizinkan. Tapi—"
"Oh, oke. Nanti malam biar aku yang bicara dengan orang tuamu," potong Sam. Ia tersenyum sekilas dan mengangguk saat satpam di depan kantor membukakan pintu untuknya.
Hah? Semudah itu tanggapannya? Tera menghentikan langkah. Wanita yang tengah berdiri di depan pintu itu berpikir sejenak, ternyata Sam selain orangnya suka mengambil keputusan sepihak, ia juga orang yang gampang menyepelekan hal yang menurut Tera masalah menjadi tidak masalah buatnya. Tera berdecak sambil menggeleng-geleng. Makhluk dari luar angkasa mana sih Sam itu?
"Mbak Tera mau masuk enggak, nih? Pegel tangan saya ini!"