LENTERA

Anjar Lembayung
Chapter #5

BAGIAN 4

Udara dingin di luar rumah terasa asyik saat Tera meniup asap yang mengepul dari cangkir. Aroma kopi dan susu tercium saat Tera menghirupnya dalam-dalam. Sesekali ia melirik ponsel di meja, barangkali Sam menelepon karena bingung arah. Akan tetapi, tanda itu tak kunjung muncul meski kopi susu hampir tandas dan jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 8 malam.

Wanita yang duduk bersila di kursi serambi rumah itu mengembuskan napas kasar. Ia meletakkan cangkir ke meja, membenarkan posisi poninya ke samping. Rambutnya memang sudah acak-acakan sejak tadi. Semakin berantakan ketika Tera hanya menggelungnya ke atas dengan sumpit yang dimanfaatkan sebagai tusuk konde jadi-jadian. Tidak! Bukan sumpit yang biasa digunakan untuk makan! Tera membelinya sendiri di tukang gerabah langganan Ibu.

Tera meregangkan tubuh ke kiri dan kanan. Ia hampir meyakini kalau seniornya di kantor itu tak akan datang. Namun, sorot lampu mobil sedan yang berhenti tepat di depan pagar rumahnya membuat Tera urung untuk masuk rumah. Kedua manik hitam Tera menyipit, berusaha memastikan siapa yang akan turun dan bertamu malam-malam begini. Tidak mungkin Sam karena sepengetahuannya, laki-laki itu lebih suka bepergian menggunakan motor bila sendirian. Tunggu!

"Pak ... Bramantyo?" Tera bergumam tak percaya saat menyadari laki-laki paruh baya yang turun dari sisi kemudi adalah pemimpin redaksi di mana ia bekerja. Keningnya semakin berkerut saat mengetahui wanita paruh baya yang turun dari jok belakang. "Ibu Meilan?"

Sekonyong-konyong mata Tera memelotot saat Sam keluar paling akhir. "Sam?!" jerit Tera tertahan.

Astaga! Laki-laki itu seenaknya menggunakan wewenang pemimpin redaksi untuk minta izin ke Ayah. Tera menggigit buku jari tangan kanan. Bagaimana ini? Kalau Ayah tak mengizinkan pasti dipecat. Gelisah. Wanita yang tak menyadari dirinya hanya mengenakan pakaian seadanya—kaus kebesaran dan celana training—panik. Ia gelagapan, harus masuk rumah dahulu atau menyambut mereka.

"Assalamualaikum, Nak Tera," sapa Bram-papa Sam. Bibirnya membentuk lengkungan sempurna. Sama halnya dengan Meilan-istrinya-yang juga tersenyum. Mata wanita di sisi Bram itu semakin sipit saat tersenyum semringah.

"Wa-waalaikumsalam, Pak," sahut Tera sembari melirik putra tunggal Bram yang berdiri di sisi kanan sang papa. Lirikan Tera itu meminta penjelasan, tetapi laki-laki berkemeja putih—tentunya—hanya mengedikkan alis.

Ya Tuhan! Sam ... say something, please! Tera menggeram dalam hati.

Mereka segera memasuki rumah saat Tera mempersilakan dengan sebelah tangan membuka lebar pintu ruang tamu. Ayah dan Ibu yang sedang duduk santai di ruang tengah mendadak keluar. Saking tak pahamnya akan kedatangan tamu penting, Ayah keluar dengan kaus oblong dan sarung, sedangkan Ibu mengenakan daster lengan panjang kebesaran kebanggaan para ibu rumah tangga. Tera menepuk dahinya pelan sambil tertunduk dan duduk di sisi Asiyah.

"Begini, Pak, Bu, kami datang ke sini dengan niatan baik," jelas Bram. Ia berdeham sebelum akhirnya melanjutkan penjelasan. "Kami berniat melamar putri Bapak untuk putra kami, Samudra."

Lihat selengkapnya