Huanran: "Apa kabar, Sam?"
Sebuah pesan masuk dari ponsel yang sedari tadi Sam genggam. Sahabat jauhnya itu kembali menghubungi setelah sekian lama tak ada kabar. Sam tersenyum sebelum ia mengetikkan sederet kalimat pada papan ketik balasan akun WhatsApp-nya.
Sam: "Baik. Lama tak bersua."
Huanran: "Aku dengar kamu sudah menikah dengannya. Benar?"
Lagi-lagi sudut bibir laki-laki yang tengah duduk di karpet itu mengembang. Ia menoleh ke sofa di belakangnya. Sosok itu sudah tertidur pulas di balik selimut tebal bermotif garis putih dan abu-abu. Seketika itu juga Sam mengubah posisi duduk menghadap wanita yang baru tadi siang ia nikahi. Perlahan ia menyibak helaian poni yang menutupi wajah Tera. Hanya butuh waktu 5 detik Sam menyesuaikan posisi kamera ponsel demi mendapat citra wajah nyenyak itu untuk ia kirim pada Huanran.
Sam: "Dia tak kalah cantik denganmu."
Balasan dari Huanran menyusul beberapa saat setelah Sam meneguk sisa kopi di cangkir yang tergeletak di meja kaca.
Huanran: "Cantik." :)
Sam: "Kapan menyusul mengakhiri masa lajang?"
Huanran: "Sayangnya aku belum sanggup melupakan laki-laki dari masa laluku." :")
Sam menghela napas panjang. Wanita itu masih saja menyimpan masa lalunya. Tidak ada lagi pesan masuk dan Sam sendiri sedang tidak ingin memperpanjang obrolan. Ponsel ia letakkan begitu saja di karpet bersamaan dengan kepalanya yang ia rebahkan di sofa di mana Tera tidur. Malam ini seharusnya menjadi malam yang panjang untuk pengantin baru pada umumnya, tetapi Sam tidak ingin membuat Tera ketakutan mengingat mereka belum saling mengenal terlalu jauh. Sepertinya hanya jalan kesabaran yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kecanggungan.
**
Tera merapikan poninya yang berantakan. Beberapa kali ia menghela napas kasar. Hidup sebagai istri Sam memang penuh ketegangan. Belum lagi bila laki-laki yang sedang duduk di sampingnya ini mengambil keputusan mendadak. Ya, seperti sekarang. Mereka berdua sudah berada dalam perjalanan udara menuju Kalimantan Utara. Tera hampir mati kelabakan menata pakaian, menyiapkan kartu pers dan identitas lain.
"Santai saja. Aku sudah mempersiapkan perjalanan ini beberapa bulan yang lalu, kok," ucap Sam datar sambil mencatat sesuatu dalam buku agenda kecilnya.
A-apa? Santai katanya? Yang benar saja! Tera terus mengumpat dalam hati, tetapi demi menghargai atasan sekaligus suaminya ini, ia hanya mampu menahan sumpah serapah dengan senyum terpaksa. Tera merogoh saku jaket, meraih kacamata tidur berbahan kain warna hitam. Lebih baik ia tidur sekarang demi membunuh waktu perjalanan dan emosinya yang kadang tak mampu ia tahan.
Namun, gerakan Tera memasang kacamata tidur terhenti saat Sam beralih mengangkat agenda dan menggantinya dengan acara baca buku. Buku berwarna merah bata dengan nama penulis yang amat Tera kenal. Arum Senja. Perkataan Bela memang benar. Sam mengidolakan penulis itu.
Tera berdeham sembari mengubah posisi duduk menghadap Sam. "Omong-omong soal Arum, bukankah cerpen dia pernah diterbitkan majalah wanita dari redaksi kita setahun yang lalu?"