"Tolong letakkan tas pakaian Tera di situ saja, Bi. Biar nanti saya yang bereskan." Meilan menunjuk pojok ruangan di dekat meja kamar apartemen Sam.
"Baik, Bu," sahut Bi Inah, asisten rumah tangga keluarga Bramantyo.
Hari ini wanita berjilbab krem dipadu gamis berbahan sutra cokelat tua itu sibuk menata barang-barang menantunya. Sam tidak pernah memintanya, tetapi hingga detik ini wanita yang dianggap cinta pertama Sam masih saja suka mengatur kebutuhan putranya. Lagi pula, putra tunggal keluarga Bramantyo itu tak pernah marah dan selalu mengizinkan sang mama turut campur dalam urusan beberes rumah.
Meilan paham Tera pasti tak akan nyaman bila mertuanya terlalu banyak ikut campur urusan rumah. Untuk itu, ia sengaja melakukan ini setelah Sam dan Tera berangkat ke Kalimantan. Pagi-pagi buta Meilan menyambangi rumah besannya dan meminta bantuan untuk mengepak semua pakaian layak dan barang-barang kesayangan putri sulungnya untuk diangkut ke apartemen Sam.
"Sam itu sudah gede, Ma. Masih saja memanjakan dia," protes Bram seraya merebahkan pantat ke sofa di dekat jendela kamar.
"Ish, Papa ini. Enggak apa-apa, kok, toh Sam enggak pernah marah selama ini," sungut Meilan. Ia membuka tas pakaian menantunya, memasang beberapa helai pakaian ke gantungan lalu memasukkan ke lemari.
Tak ada rahasia Sam yang ditutupi di depan mamanya. Laki-laki itu meski sudah dewasa, ia lebih suka terbuka pada setiap apa yang terjadi dalam kisah hidupnya. Termasuk perjalanan kisah cintanya. Keduanya seperti sahabat dan partner yang baik. Meilan justru bahagia saat ia dipercaya sang anak sebagai tempat keluh kesah tanpa takut rahasianya bocor.
Aktivitas Meilan menata pakaian terhenti ketika tanpa sengaja menyenggol sebuah kotak dari kardus terbungkus kertas kado berwarna merah terjatuh dari lemari. Isinya berhamburan ke lantai membuat Bram yang duduk ikutan bangkit hendak membantu sang istri memungut lembaran kertas di lantai.
Meilan berdecak begitu menemukan selembar foto dalam kotak yang tercecer. "Cerobohnya," gumam wanita beralis tipis itu.
Bram ikut menengok foto di tangan Meilan. Matanya menyipit dengan kerutan diĀ antara kedua alis yang berlipat-lipat. "Nurul ini, Ma," ucap Bram.
Keduanya membawa foto itu ke arah sofa. Mereka duduk mengamati bersama.
"Kita banyak utang budi sama gadis manis ini, Pa," kata Meilan lirih. Bibir tipis berlipstik cokelat itu melengkung.
"Semoga gadis itu baik-baik saja dan sehat selalu ya, Ma. Sejak gadis itu pergi, Sam jadi lebih pendiam. Papa pikir Sam mencari pelarian dengan Huanran," kenang Bram.
Meilan mengerjap, menatap suaminya tak habis pikir lalu terbahak. Ia menepuk paha kanan Bram sedikit keras. "Papa, ih! Enggak mungkin putra kita menyukai wanita yang lebih pantas jadi ibunya. Mama tahu siapa Sam," kekehnya dengan jemari menghapus sudut mata yang berair karena tertawa.
"Memang Mama bisa baca perasaan Sam?" Bram meringis mengusap bekas tepukan sang istri.
"Mama berani bertaruh, besok kalau Sam pulang kita cek ponselnya sama-sama. Sam selalu menggunakan nama orang yang dicintainya untuk kata sandi pengunci layar ponsel. Setahu Mama, dia enggak pernah pakai nama Huanran," tantang Meilan dengan mata memicing.
"Sok tahu, si Mama," kata Bram dengan tawa terpaksa. Ia mengusap rambut yang mulai beruban dan bangkit dari sofa. "Ayo, kita pulang! Jangan lupa bawa kotak itu juga, mungkin Sam kelupaan."
"Iya ...." Meilan bergegas menutup pintu lemari, meringkas isi kotak ke dalam tas jinjing bermotif kulit buaya di sofa. "Bi Inah, bereskan sisanya, kalau sudah, balik lagi ke rumah. Nanti ada sopir yang jemput Bi Inah untuk pulang," titah istri Bram sebelum mengekor suaminya ke luar.
Bi Inah yang baru saja masuk dengan sejinjing tas laundry mengangguk dan tersenyum.
***