Jam dinding masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Ridwan juga masih enggan meninggalkan sofa ruang tengah dengan secangkir kopi di meja. Sudah hampir dingin memang mengingat minuman hangat berwarna hitam pekat itu sudah disajikan sejak setengah jam yang lalu oleh Asiyah. Berulang kali laki-laki dengan kacamata yang melorot di pangkal hidung itu menilik layar ponsel.
Ah, anak itu masih saja tak merindukan ayahnya setelah menikah!
Ridwan menghela napas panjang seraya meletakkan ponsel di sisi cangkir kopi.
"Mungkin di sana susah sinyal, Yah. Kirim pesan saja ke Sam. Barangkali nanti dia bisa membujuk Tera untuk menghubungi Ayah duluan," celetuk Asiyah sambil merapikan jilbab biru tuanya.
Wanita itu bersiap menenteng tas dari daun pandan di lengan kiri. Sabtu pagi begini memang jadwalnya pergi ke pasar tradisional, membeli persediaan sayur untuk mengisi stok bahan makanan di kulkas.
"Ibu udah tanya ke Bela?" Ridwan bertanya sebelum ia menyesap kopi hitamnya.
Asiyah mengedikkan bahu. "Takut Tera marah. Dia, kan, enggak suka kalau Ibu tanya-tanya ke Bela soal dia," sahut Asiyah diiringi senyum. "Udah, ah, ke pasar dulu! Takut enggak kebagian sayuran segar, Yah."
Ridwan berdeham dan mengangguk. Usai Asiyah menyalami dan mencium punggung tangan suaminya, wanita itu berlalu. Lagi-lagi ia menilik ponselnya meski Asiyah sudah berusaha menenangkannya. Bukan karena ia tak percaya terhadap menantunya. Ridwan sangat percaya pada Sam kalau laki-laki pendamping Tera sanggup menjaga putri cantiknya. Namun, kepergian Tera tanpa mengucap pamit membuat Ridwan sedikit kecewa.
"Ya Allah, apa susahnya telepon Ayah dulu, Lentera?" keluhnya sembari menyandarkan punggung ke sofa.
***
Keranjang di lengan kiri hampir penuh, ditambah sekeresek buah-buahan yang dijinjing di tangan kanan Asiyah. Wanita itu mengangguk mantap, pertanda kegiatan belanjanya cukup untuk hari ini. Ia tersenyum menata sayur asem di tas jinjing. Masakan favorit Tera. Bagaimana kondisi Tera sekarang? Apa putri pertamanya itu makan dengan baik? Batin Asiyah terus bertanya-tanya.
Meski ia sudah berusaha tenang dan meyakinkan Ridwan Tera akan baik-baik saja, nyatanya jiwa keibuannya tetap bergejolak juga. Asiyah mengembuskan napas pelan. Ia keluar dari area pedagang sayur mayut, melewati lorong sempit, lalu berjalan menyusuri trotoar depan pasar.
Langkah wanita berlesung pipi itu mendadak berubah pelan ketika sebuah mobil sedan hitam mengilap berjalan perlahan di sisi trotoar di mana Asiyah berada. Mobil itu berhenti bersamaan dengan langkah Asiyah. Mata ibu dua anak itu mengerjap seketika pintu belakang mobil terbuka.
Sosok berbibir merah itu tesenyum kaku, sementara Asiyah terbata dan tak sanggup berkata kecuali menyebut, "A-arum?"
Wanita dengan clutch hitam di tangan kanan itu mengangguk ragu. Ah, sekian tahun lamamya! Kenapa wanita ini baru muncul?
***
"Tera begitu bersemangat saat Mas Ridwan mengizinkannya bekerja di kantor media. Sebenarnya Mas Ridwan mau Tera jadi guru saja, tapi kamu tahu sendiri, kan, bagaimana kerasnya Tera bila sudah punya keinginan?"
Asiyah terus berceloteh menceritakan putri pertamanya. Arum hanya mengangguk beberapa kali sembari menikmati es teh lemon. Ia sengaja mengajak Asiyah ke sebuah kafe agar lebih leluasa saling temu kangen setelah sekian lama Arum memutus hubungan dengan keluarga kecil Ridwan.
"Jadi, mari kembali, Rum! Tera pasti senang bila ...."
"Mbak," sela Arum. Ia menggenggam erat tangan kanan Asiyah. "Aku ... mau menjemput Tera."
Asiyah terdiam. Rona bahagia di wajahnya mendadak surut dan berubah kalut. Senyumnya menghilang dan berganti gurat kemarahan. Ia menarik tangan dari genggaman wanita dari masa lalunya.