Lampu dengan cahaya 5 watt itu menyala, menerangi sosok pria yang tengah duduk di anak tangga teras rumah. Ia sudah berpikir keras. Waktu satu tahun sepertinya cukup membuat perasaannya hambar meski kini dipertemukan kembali dengan wanita salihah itu. Senyum gadis dengan gigi gingsul berwajah manis itu masih semenarik dulu. Setiap tutur katanya pun masih selembut dulu, ramah dan ceria.
Sam mengangkat tangan kiri. Liontin berhuruf S pada gelang hitam yang ia kenakan tampak bersinar redup ditimpa cahaya lampu teras. Lalu, dengan sekali entakan diputusnya gelang dari tempatnya dan detik itu juga terlempar ke sembarang arah, bersamaan dengan kenangan lalu yang terkubur dalam.
"O-oh ... kenapa dibuang?! Bukan begitu caranya membuang benda yang telah lama membersamaimu, Sam!"
Suara dari balik punggung Sam membuatnya menoleh. Tera tampak menggeleng tak habis pikir lalu dengan langkah tergesa ia turun ke halaman. Kedua manik hitam laki-laki yang masih duduk santai itu mengerjap, memperhatikan istrinya yang sekarang berjongkok, meraba-raba rumput di halaman.
"Ke mana gelang itu?" gumam Tera seraya menyelipkan rambut ke balik telinga.
"Enggak usah dicari, aku tak menginginkannya lagi." Sam menyandarkan lengan ke pembatas anak tangga.
Wanita yang semula berjongkok di halaman menoleh. Mata Tera menyipit. "Dasar manusia tak setia!" gerutunya lirih.
Mendengar gerutuan itu, Sam hanya mengedikkan bahu dan berlalu kembali ke dalam rumah. Ia sudah siap menjalani hidup barunya.
***
Lima menit berlalu, wanita dengan kaus berbahan knit warna mustard itu mengerucutkan bibir. Ke mana benda yang dibuang suaminya barusan? Tera yakin gelang hitam berinisial S itu berharga untuk Sam. Setahu Tera, Sam tak pernah melepasnya. Tidur pun dipakai.
"Harusnya jatuh di—ah, itu dia!" Begitu kilau dari balik rumput terlihat, ia bergegas menghampiri dan meraihnya. "Ketemu!"
Tera tersenyum seraya menengadah, memandangi gelang tersebut. Ia harus menyimpannya, barangkali nanti si Lempeng itu berubah pikiran.
***
Keterbatasan di pelosok negeri seperti di Indonesia tampaknya tak begitu terasa saat wanita berjaket merah hati itu menginjakkan kaki di perbatasan Malaysia. Wilayah ini maju dengan mudahnya akses kebutuhan pokok. Tak perlu khawatir kesulitan mencari susu bayi atau produk makanan instan serta minuman kaleng sekalipun. Kedai kebutuhan pokok berjajar rapi meski bangunannya sederhana, bukan layaknya mal di Jakarta. Satu jam perjalanan melalui derasnya air sungai terbayar dengan semua ini.
Kedua mata Tera mengerjap takjub. Usai mendapat izin masuk ke wilayah Pagalungan, Malaysia, melalui cek kelengkapan paspor, Nurul memandu pasangan jurnalis itu makan di sebuah kedai makanan. Di sini mereka bisa minum dan makan enak, termasuk makan makanan yang sempat membuat Tera teringat sang ayah.
"Gimana rasanya?" Nurul membuka percakapan setelah menyendok kuah soto ayam di mangkuk.
"Sama aja kayak soto di Jakarta," sahut Sam singkat yang nyatanya pertanyaan itu sesungguhnya Nurul tujukan untuk Tera.
Setelah tersenyum tipis dan kembali menyuap sesendok kuah soto dilengkapi irisan timun, Tera mengangguk. "Cuma beda ada tambahan irisan timun aja."
Lalu, wanita yang baru saja menimpali percakapan termenung sejenak menatap jajaran mangkuk soto mereka. Ini akhir pekan, Asiyah pasti masak besar. Wanita itu akan memasak makanan kesukaan Ayah atau Tera. Soto ayam biasanya dimasak pada minggu kedua setelah minggu pertama memasak sayur asem favorit putri sulungnya.