Lepet

Ayu Fitri Septina
Chapter #2

Masjudi - Kampung Halaman

Biar kuceritakan padamu. Aku melarikan diri dari proyek bukan semata-mata karena Edi dan Waryono jatuh dari lantai 32. Bukan pula karena takut akan dijadikan tumbal seperti kata orang-orang. Aku tahu yang sebenarnya terjadi, eh? Kalaupun memang pembangunan gedung-gedung tinggi lazimnya makan tumbal dari pekerja seperti yang mereka bilang, tidak dalam kasus Waryono dan Edi. Semuanya karena dia.

Selain itu, proyek memang akan dihentikan. Garis kuning polisi melintang mengelilingi bangunan. Mandor kami marah-marah, tapi memangnya dia bisa apa? Dia cuma mandor. Tak akan bisa melawan aparat negara yang berseragam necis dan bersenjata itu.

Aku tidak mau mencari pekerjaan lain di ibu kota. Memangnya aku bisa apa selain nguli? Mau sekadar jadi cleaning service pun saingannya sarjana. Lulusan SMP sepertiku tidak akan dilirik. Kantor-kantor itu memberi kriteria yang tinggi sekali bahkan untuk posisi tukang bersih-bersih. Penampilan menarik, bisa berkomunikasi, berpengalaman, dan sebagainya. Eh-eh-eh, macam mau jadi presiden saja.

Kau tidak tahu, eh? Kau pikir sarjana tidak akan melamar sebagai OB? Sarjana cuma gelar yang diberikan dalam gebyar sesaat. Apa itu namanya? Eh, wisuda. Setelahnya kau akan pusing dan putus asa karena tidak juga dapat-dapat kerja. Kalau sudah begitu memangnya apa? Kau mau bekerja apa saja daripada jadi bulan-bulanan tetangga, eh? Eh-eh-eh.

Kalaupun kau tidak mau, ribuan orang siap menggantikanmu. Hidup memang begitu. Sikut-sikutan. Meskipun ada hukum negara, sebenarnya yang kita jalani sekarang tetaplah hukum rimba. Siapa cepat dapat. Siapa kuat menang. Siapa lebih besar dekengannya, hukum manusia tak bisa menyentuh. Lebih baik aku pulang. Hidup di kampung bersama Damini dan Ma'e yang semakin tua. Aku bisa membantunya jaga warung.

Yang lebih penting dari itu semua, jelas aku menghindari dia. Kupikir dia tidak akan mengikutiku lagi. Rupanya aku salah. Dia tetap bergeming, menyeringai padaku dengan lehernya yang buntung, sepanjang perjalanan. Lututku lemas bukan kepalang.

Bukan, eh. Aku bukan orang yang bisa melihat hal-hal gaib semacam itu. Aku hanya bisa melihatnya, hantu berkepala buntung ini. Sudah lama dia menghantuiku, sejak aku kecil. Dulu aku berteriak-teriak setiap kali dia datang. Orang-orang, bahkan Pa'e, mengataiku gila. Memangnya siapa yang tidak bakal gila kalau setiap hari ada hantu yang menemuimu?

Kalau tidak salah ingat, dulu kepalanya tidak buntung. Seiring umurku bertambah, dia semakin jarang menemuiku. Mungkin kekuatannya melemah sehingga kepalanya jadi buntung. Atau mungkin dia sadar kalau aku bukan lagi bocah ingusan yang begitu mudahnya ditakut-takuti. Dia salah, eh. Aku masih ketakutan setengah mati setiap kali melihatnya. Kepalanya yang buntung membuatnya semakin seram saja. Dia tinggal di mana kepalanya? Eh-eh-eh.

Kenapa aku bisa melihat si hantu buntung ini, panjang ceritanya. Yang jelas, mungkin karena ada semacam ikatan batin antara aku dan dia. Ya, ya, kau tidak salah dengar. Ada cerita sentimentil di balik alasannya selalu menghantuiku, atau barangkali hanya aku yang terlalu perasa sehingga dia tidak mau pergi. Apa dia pikir aku mengikatnya? Kalau memang begitu, dia salah. Aku jelas ingin dia pergi ke tempat yang semestinya. Dunia ini sudah bukan lagi tempatnya untuk berpesta-pesta.

"A-apa maumu, e-eh?" Aku bertanya. Tidak pernah dia selama ini menemuiku. Biasanya hanya sekejap, lalu langsung hilang. Sudah hampir tiga jam dia duduk di sampingku saat ini. Mataku mulai terbiasa melihat batang lehernya yang busuk dikerubungi belatung. Hidungku tak bisa mencium apa-apa lagi selain bau anyir darah.

Dia menoleh. Aku tahu dia menoleh dan sedang menatapku. Jantungku berloncatan tidak keruan. Tubuhku gemetaran. Dia mencondongkan badannya padaku hingga jarak kami tinggal sejengkal. Aku bisa melihatnya dengan jelas sekarang. Sangat jelas. Daging merah yang tercabik-cabik dan lembaran-lembaran kulit yang terkulai di pinggirannya, menunjukkan betapa menyakitkannya saat kepala itu terlepas. Belatung-belatung sebesar kelingking bayi menggerogoti daging busuk itu, berpesta pora. Belum lagi ngengat-ngengat yang berkelepak di sekitarnya. Ngengat-ngengat gila! Pendingin di bus ini tidak bisa menghalau keringat besar-besar yang muncul di keningku. Rasa takutku memicunya begitu kuat.

"A-apa ma-maumu, Lepet?" Kusebut namanya. Dia pasti menyeringai lebar sekarang. Sekonyong-konyong, udara dingin melewati telingaku. Tengkukku merinding bukan main. Lalu aku dengar bisikan itu! Bisikan yang membuat pundakku terasa berat sekali. Aku merasa seperti Nabi yang baru dikaruniai wahyu. Kemudian kegelapan menyergapku.

*

"Mas, Mas, bangun! Sudah sampai terminal akhir!"

Lihat selengkapnya