Pagi kelabu melingkupi Karang Pakis. Hujan semalam masih menyisakan rintik gerimis yang menggoda banyak orang untuk kembali menarik selimut alih-alih memulai aktivitas. Namun, aku tidak bisa begitu. Ini hari Kamis, hari aktif pembelajaran kampus, dan aku ada jadwal mengisi kelas pukul sepuluh. Menjadi dosen luar di universitas terbaik di kota ini rupanya membuatku lebih sibuk dari yang kuduga.
Pekalongan memang kota yang terbilang kecil, tapi juga tidak sekecil itu. Bagaimana, ya. Di kota ini terdapat fasilitas lengkap seperti kota-kota besar. Kamu tidak akan mati bosan hidup di sini, meski katakanlah sebelumnya tinggal di ibu kota dan semua ingar bingarnya—seperti aku. Belum ada setahun aku pindah ke sini, dan sampai sekarang masih tinggal di petak kost sederhana di Karang Pakis. Untuk ditempati seorang diri, kurasa terlalu berlebihan jika aku harus mengontrak rumah.
Aku tahu warga mulai berkasak-kusuk tentang hal ini—biasalah, masyarakat kampung. Mulai dari selentingan kalau gajiku kecil, sampai gosip tentang mengapa aku, seorang wanita yang sudah berumur dan cukup mapan, belum bersuami. Padahal umurku toh baru 29. Seolah bagi seorang perempuan, masih lajang di umur segitu adalah aib dan dosa. Tapi kamu tahu bukan, kunci agar hidup ini tentram dan damai adalah dengan menulikan telingamu. Kamu tidak butuh mendengarkan semuanya. Dengar saja apa yang memang perlu kamu dengar. Jadi, itu yang kulakukan. Toh, mereka bukan orang yang kukenal dekat. Untuk apa ribut-ribut?
"Tumbas napa, Mbak Ratna?" Yu Mar, wanita paruh baya pemilik warung sarapan di kampung ini, menyapaku dengan ramah bahkan sebelum aku masuk.
"Nasi megono, Yu, biasa. Gorengannya lima ribu yang anget, ya," jawabku sambil mengenyakkan diri di kursi kayu panjang. Jam segini warung Yu Mar sudah sepi. Kulihat hanya ada tiga pelanggan yang sedang antre. Jam sibuknya jauh lebih pagi, jam-jam saat ibu-ibu mencari sarapan untuk suami dan anak-anak mereka yang mau sekolah.
"Mbak Ratna sudah ketagihan sama megono ya, sekarang." Yu Mar terkekeh. Aku ikut tertawa kecil.
Megono merupakan makanan khas Pekalongan yang sangat asing bagiku saat pertama aku melihat hidangan itu. Kata Yu Mar, megono dibuat dari nangka muda yang dicacah kecil-kecil, kemudian dikukus dan diberi bumbu rempah yang cukup rumit. Rasanya gurih dan sedap, cocok di lidahku dalam percobaan pertama.
Megono dihidangkan dengan gorengan—tempe goreng tepung atau bakwan. Kalau kamu ingin tambah protein, ayam goreng atau sate telur puyuh masih masuk dimakan bersama nasi megono. Satu bungkus nasi megono cuma tiga ribu perak. Tak sampai sepuluh ribu, perutmu sudah akan kenyang.
"Gorengannya sebentar ya, Mbak, masih digoreng."
Aku menunggu gorengan matang sambil mengecek Instagram. Serbuan berita dari media besar nasional memenuhi berandaku. Mayat wanita hamil dengan janin hilang di desa terpencil, penangkapan salah satu menteri korup yang masih bisa senyam-senyum, dan beberapa berita kriminal lain yang setiap hari ada: pencabulan santri oleh kyai, anak dibunuh ibu sendiri, serta perundungan bocah SD yang berujung kematian.
Aku menghela napas panjang. Ah, negeri ini. Sungguh bobrok dari kepala sampai ekor-ekornya. Namun, ada satu akun yang menampilkan berita baru—pekerja proyek perkantoran di Glodok yang tewas karena jatuh dari lantai tiga puluh. Alisku bertaut. Baru satu bulan lalu berita serupa juga muncul. Proyek yang dimaksud juga sama, milik pengusaha terkenal yang memang berdikari di bidang properti.
Tengah larut dalam pikiran itu, aku dikejutkan oleh seseorang yang muncul dari dalam rumah Yu Mar. Warung Yu Mar hanyalah area kecil di teras rumahnya. Pria yang kutaksir usianya tak terpaut jauh dariku itu membawa baskom besar berisi gorengan. Uap tipis dari gorengan yang masih panas tersebut menguarkan aroma harum tempe mendoan. Perutku berdemo.
"Ini gorengannya, Mak," ucap pria dengan berewok yang cukup lebat itu. Dia lupa bercukur atau memang begitu gayanya?
"Ya. Tempenya dicemplungin lagi, Nang. Pesanannya Bu Haji," jawab Yu Mar sambil melayani pembeli.
Pria itu mengangguk, lalu balik badan untuk kembali ke dalam. Saat itulah pandangan kami bertemu. Dia sedikit terperanjat mendapati aku yang agak kurang ajar tengah mengamatinya. Aku seketika memalingkan muka. Pipiku memanas. Ketahuan memperhatikan seseorang sama halnya tertangkap basah mencuri. Untung pria itu sepertinya tidak menaruh curiga. Dia tak menghiraukanku dan lekas masuk rumah.
"Masjudi pulang kapan, Yu?" Ibu-ibu di sebelahku memulai obrolan.
"Semalam. Proyeknya dihentikan setelah kejadian Waryono," sahut Yu Mar.