Kejadian di warung pagi tadi membuat Ma'e murung sepanjang hari. Ma'e menawarkan sembako yang diberi preman-preman itu pada siapa saja yang mau mengambilnya. Bagi Ma'e, apa pun pemberian dari orang yang mau merampas tanah dan rumahnya, hukumnya haram. Eh-eh-eh.
Karang Pakis merupakan desa kecil di pinggir Pantura. Sejak empat tahun lalu, ramai dibicarakan tentang pabrik semen yang akan dibangun pemerintah di sepanjang daerah ini. Karang Pakis masuk dalam wilayah yang harus dikosongkan. Warga desa terbagi jadi dua kubu. Yang satu menolak mentah-mentah, satunya lagi iya-iya saja—yang penting dibayar mahal.
Ma'e, tentu saja masuk dalam golongan pertama. Sejak berita itu baru beredar, Ma'e sudah marah-marah. Katanya mereka baru bisa merampas tanahnya yang secuil ini kalau bisa melangkahi mayatnya. Seperti di sinetron, eh? Desa kami termasuk yang paling banyak membelot. Warga desa lain geram karena uang mereka jadi tidak turun-turun sebelum Karang Pakis rela memberikan tanahnya, tapi sampai sekarang titik terang itu belum kelihatan.
Warga Karang Pakis melakukan perlawanan. Tidak hanya coretan dan spanduk dengan kata-kata tak senonoh, tapi juga demo. Berkali-kali warga beraksi di tanah kosong bekas kebun yang sudah resmi dibeli petinggi pabrik. Mereka mendirikan tenda selama berhari-hari sambil berorasi. Tak lupa kertas-kertas karton yang penuh dengan tulisan perlawanan dan caci maki.
Eh-eh-eh. Kau tahu, eh, itu tindakan bodoh? Memangnya orang-orang elit di atas sana mau dengar? Pabrik ini belum jadi dibangun, terbengkalai selama empat tahun, tapi toh tinggal tunggu waktu saja, eh? Biar bagaimanapun caranya, mereka akan memperoleh yang dimau. Rakyat kecil cuma mainan. Mereka tak akan peduli dengan kesusahan orang-orang macam kau atau aku. Uang segalanya. Kalau kau masih bisa diperas, peras. Kalau tak berguna lagi atau malah melawan, singkirkan.
Sejak saat itu, Karang Pakis yang tentram mulai digentayangi preman-preman. Mulanya mereka tak mengganggu, seolah cuma bertugas sebagai peringatan bagi warga. Tetap membelot artinya menjadikan mereka bagian dari Karang Pakis.
Malah, seperti kau lihat tadi, mereka kerap berbaik hati dengan memberikan sembako gratisan. Kalau dengan dipaksa warga tidak mau menyerahkan tanah mereka, mungkin dengan cara baik-baik akhirnya luluh juga. Namun, toh, warga sini lebih keras kepala dibanding karang. Seperti Ma'e, yang lain-lain juga tidak mau menerima suapan haram itu. Eh-eh-eh.
Kalau kau jadi premannya mungkin kau bakal naik pitam juga, eh? Begitu pula preman-preman suruhan ini. Mereka merasa terhina, hingga kerap berbuat onar seperti tadi pagi—menumpahkan gorenganku.
Aku tahu warga Karang Pakis masih berusaha sabar dan menahan untuk tidak membalas kelakuan preman-preman itu. Kau tunggu saja, eh. Kami punya sejarah bengis dalam menghadapi—menghabisi—preman. Belum tahu saja mereka. Lepet buktinya. Bahkan sudah mati pun dia masih merasa tersiksa, eh. Kepalanya hilang. Eh-eh-eh.
"Kasihan Ma'e ..." Damini muram saat aku menceritakan peristiwa tadi pagi. "Preman-preman itu berkeliaran terus di sini seperti hantu."
Aku mengusap pipinya yang bersemu kemerahan. Sudah kubilang, cantiknya Damini tak alang-kepalang. "Ma-maka itu Ma-Mas terpaksa pa-pasung kamu begini, Dam-Damini. Di luar ba-banyak kejaha-hatan. Preman dan han-hantu Lepet bi-bisa ganggu ka-mu. Ma-Mas nggak mau."
Damini tersenyum. Tangannya menggenggam tanganku. Rasanya hangat. Eh-eh-eh. "Aku ngerti, Mas. Mas nggak usah khawatir. Aku nggak apa-apa."
Aduh, Daminiku yang ayu. Bagaimana bisa aku melepasnya? Tak ada yang menandingi cantiknya Damini. Kalau kulepas, nanti dia jadi incaran laki-laki bejat macam Edi atau preman-preman garong itu. Lihat saja bagaimana mata mereka menyala saat menatap perempuan muda yang tadi pagi ada di warung.
Siapa dia? Sepertinya aku baru melihatnya di sini. Di atas kepalanya banyak ngengat-ngengat. Aku tahu itu pertanda. Hantu Lepet sedang menguntitnya.