Lepet

Ayu Fitri Septina
Chapter #5

Masjudi - Pa'e dan Rotan

"Anak ora ono gunane!" Suara Pa'e menggelegar di seluruh sudut rumah. Di telingaku, itu terdengar seperti sambaran petir.

"Bocah ora ono gunane! Mati bae koe, mati!"

Saat itu umurku berapa, eh? Sepertinya baru enam tahun. Aku meringkuk di pojok kamar sambil menangis dan kesakitan. Dulu, aku mengira yang membuatku sakit adalah sabetan rotan yang dilayangkan Pa'e ke bokongku. Bertambah umur, aku tahu yang lebih menyakitkan bukan itu, tapi kata-kata yang dilontarkan Pa'e. Ada bagian tubuhku yang sakit karenanya, sakit sekali, tapi tak bisa kujangkau. Pukulan rotan di bokong itu sembuh seiring waktu, tapi rasa sakit akibat ucapan-ucapannya yang tidak kutahu di mana, tetap ada. Bagaimana cara mengobatinya, eh?

"Bocah kecing! Bodo! Delok kae mbak yu-mu, pinter. Ora ngisin-ngisini koyo koe!"

Pukulan itu melayang lagi, kali ini mengenai punggungku. Aku mengaduh. Memohon ampun. Namun, pukulan demi pukulan semakin keras. Kulihat Ma'e di luar kamar mondar-mandir, sesekali memeluk kakakku. Tatapannya padaku prihatin, berduka, tapi toh Ma'e tak bisa melakukan apa-apa. Pa'e adalah rajanya. Raja kami. Bahkan Ma'e sekalipun lebih memilih melawan Tuhan daripada harus melawan Pa'e.

Aku pun begitu. Aku tahu mencuri artinya membangkang pada Tuhan, tapi mau bagaimana, eh? Jambu Lek Warno yang ranum di pohonnya sangat menggiurkan. Lagi pula paling-paling aku cuma makan tiga biji saja. Itu tidak banyak, eh. Lek Warno punya banyak pohon jambu biji. Tiga buah saja seharusnya tidak jadi masalah.

Maka aku pun naik pohon jambu itu dengan lincah. Dahan demi dahan. Kuraih satu yang paling dekat. Kumakan langsung di pohonnya, seperti codot. Eh-eh-eh. Di siang yang terik seperti itu, rasanya nikmat sekali. Satu habis, aku ambil lagi. Kugerogoti buahnya yang merah dan empuk, kutelan bijinya. Ah, enak.

Baru saja tanganku terjulur untuk memetik satu buah lagi, sebuah teriakan mengagetkanku.

"Masjudi! Nyolong jambuku maneh koe! Maling cilik!"

Itu Lek Warno. Dia bergegas menghampiriku. Sapu lidi teracung-acung di tangannya. Aku turun dari pohon jambu dengan belingsatan.

"Aduh!" Kakiku terkilir.

Lek Warno meringkus dan menjewer telingaku. Ditariknya telinga itu sampai hampir putus rasanya.

"A-ampun, Le-Lek." Aku merintih.

Lek Warno tidak peduli dan terus menggeretku ke rumah. Di ambang pintu, lelaki itu berteriak kencang. Tak hanya Pa'e dan Ma'e, tetangga kiri kanan juga keluar.

"Anakmu maling, Rus! Sudah lima kali dia nyolong jambuku! Mau jadi apa dia nanti, he?"

Telingaku dipelintir. Kupikir telinga itu sudah putus. Pa'e mengambil alih, menyeret lenganku dengan kasar. Lenganku sepertinya juga akan putus. Setelah minta maaf berkali-kali, barulah Lek Warno pulang. Kau tahu apa yang terjadi setelah itu, eh.

Lihat selengkapnya