Gatal di tanganku tak juga hilang. Kini malah semakin menyebar gara-gara kugaruk. Semalam rasa gatal ini hanya ada di telapak, tapi pagi ini sudah menyebar jauh sampai lenganku. Gelembung-gelembung kecil mulai terbentuk, berdompol-dompol dan berisi air, rasa gatalnya menggigit hingga aku tak tahan. Aku menggaruknya sampai puas, meski setelahnya kulitku memerah mengerikan dan gelembung-gelembung itu pecah. Tak hanya gatal, sekarang rasanya juga nyeri dan panas. Inikah yang dialami banyak warga belakangan? Penyakit kulit sejenis herpes yang tak jelas penyebabnya.
Menyerah, aku melajukan motor ke Puskesmas Karang Pakis. Hari ini aku mengajukan izin untuk tidak mengajar karena—entah disebabkan gatal-gatal ini atau yang lain—tubuhku demam.
Baru pukul sembilan pagi sekarang, satu jam setelah Puskesmas buka, tapi antreannya sudah mengular. Bangku-bangku tunggu yang berderet-deret itu penuh. Orang-orang tampak resah. Sebagian besar dari mereka mengalami hal yang sama sepertiku. Bahkan, kulihat seorang perempuan dengan wajah dipenuhi bintil-bintil berair ini. Luka lepuh di tangannya akibat bintil yang pecah malah mulai mengoreng. Borok kehitaman itu terlihat basah dan bernanah.
Aku tahu dia berusaha benar untuk tidak menggaruk bintil berdompol di pipinya, tapi tentu saja—tidak tahan. Berkali-kali dia mengangkat tangan dan kukunya bergesekan dengan wajahnya yang kini pasti terasa kasar. Beberapa gelembung pecah, aku seperti bisa mendengar suaranya di kepalaku—ceplus-ceplus—dan perempuan itu menggerutu. Orang-orang menjauhinya. Sungguh mengherankan, padahal mereka juga punya keluhan yang sama. Namun, melihat borok bernanah tersebut, aku tahu si perempuan sudah masuk ke klasifikasi yang lebih parah. Mungkin gatal-gatal itu telah menyebar ke sekujur tubuhnya.
Suara bayi dan balita yang berteriak atau merintih membuat suasana Puskesmas semakin heboh. Beberapa minggu terakhir memang ada kematian balita yang disebabkan muntaber—kudengar. Sebetulnya aku agak heran petugas medis sampai kecolongan akan hal tersebut, tapi mungkin memang sudah takdirnya.
Puskesmas di Karang Pakis lumayan bagus, lengkap dengan fasilitas PONED—layanan untuk melahirkan yang buka 24 jam dan petugas medis yang—uhm, muda-muda dan terlihat galak. Bangunannya bersih, luas, catnya juga tampak baru. Satu ambulans terparkir di halamannya yang cukup asri.
Karang Pakis bukan desa tertinggal atau apa. Desa ini merupakan bagian dari kelurahan Karang Asri yang cukup nyaman untuk ditinggali. Dikenal sebagai desa pembuat barang-barang dari kapuk—kasur, bantal—tapi banyak juga warga yang berprofesi sebagai petani di sini. Di bagian barat desa terhampar sawah-sawah yang jadi tempat favoritku untuk menikmati pagi, kalau sedang senggang.
Perputaran ekonomi di sini cukup stabil, kurasa, meski ada juga warga yang lebih senang berkumpul-kumpul karena menganggur. Melihat hal ini, aku memahami mengapa warga enggan melepas Karang Pakis untuk kepentingan pabrik semen itu. Ya, siapa sih, yang mau pindah dari tempat kelahiran mereka tanpa ada keperluan mendesak, dan memulai segalanya dari awal? Baru dibayangkan saja sudah kelihatan repotnya.
Kudengar, pabrik semen ini tak lagi di bawah wewenang pemerintah karena penolakan warga yang berkelanjutan. Namun, investor dan para pengusaha mengambil alih proyek itu dan tetap menginginkan pendiriannya di wilayah ini. Mereka tidak menyerah. Warga juga tidak mau kalah.
Alasan warga sepenuhnya masuk akal. Pabrik semen, huh? Bayangkan saja apa dampak yang akan terjadi. Tanpa pabrik semen pun, sungai di sini sudah menghitam karena tercemar obat batik. Oh, aku belum bilang. Pekalongan adalah kota batik. Ya, ya, batik yang kamu pakai itu sebagian besarnya diproduksi di kota ini. Meski Karang Pakis tidak termasuk penghasil batik yang besar, tapi ada dua pengusaha batik di sini.
Aku tidak tahu apakah itu yang juga akhirnya menyebabkan air sumur di Karang Pakis jadi keruh. Tidak bisa diminum. Mayoritas warga menggunakan layanan Pamsimas berbayar per bulan, termasuk di kostku.